Kenangan Masa Kecil (38) Ramadhan (1): Ramadhan 80an

0


Ciloteh/ Oce E Satria

👣

PUASA itu menahan makan minum seharian. Itu definisi sederhana di kepala kami bocah-bocah selepas balita. Setelah bersekolah dan ditambah mengaji di surau atau TPA, pemahaman bertambah: puasa itu menahan diri dari semua larangan di pasal-pasal yang ditentukan syariah.


Menyambut bulan Ramadhan bagi kami para bocah, ibarat menyambut pesta keramaian. Walau tak begitu paham esensinya, namun antusiasme yang ditunjukkan orang dewasa menular ke kami. Tahu bahwa puasa itu semacam "hari penyiksaan", namun bukannya cemas dan takut, kami justru senang.

Kalau orang lain menyambut puasa dengan pergi 'balimau' ke Singkarak atau ke tempat wisata, aku justru 'balimau' di rumah saja. Balimau yang sebenar-benarnya. Amak membuatkan ramuan untuk mandi dengan rempah-rempah, limau. Dengan air ramuan itu, aku mandi pada sore menjelang malam Ramadhan.

Ikut berpuasa rasanya bangga sekali. Belum lagi kemeriahan selama malam-malam Ramadhan adalah ruang pesta bagi kami para bocah. Kegembiraan menyambut Ramadhan bagi kami bukan membayangkan menu buka puasa yang serba manis dan enak, walakin adalah kemeriahan versi kami, anak-anak.

Sebagai murid TPA, kami sudah dijadwal menjadi pembawa acara ceramah agama menjelang tarawih. Menjadi protokol, baca Quran atau jadi saritilawah. Enaknya pas dapat jadwal bareng nak rang tu. Dia baca Quran, aku saritilawah. Berbunga-bunga saja hati macam bank konvensional. Gitu aja sih. Gak ngapa-ngapain. Disenyumin dikit aja, tapi endahnya bukan main.....😍

Malam Ranadhan saat tarawih juga biasanya jadi momen untuk tebar pesona. Apalagi shaf laki-laki ada di depan, jamaah perempuan ada di belakang. Biasnya suka pura-pura keluar masuk masjid, biar si dia ngeliat. Inj semacam kode aja 'O.. Uda wak ikutan tarawih...." 😊

Padahal belum tentu juga si doi itu ngeliat. Meski dia gak liat, tapi pokoknya yang penting nampang dulu dah! 🤣

Tebar pesona juga dilakukan cowok-cowok mentel. Biar kata kagak punya gebetan, tapi nampang dengan keluar masuk di pintu samping masjid itu wajib hukumnya. Biar dapat poin plus dari kaum hawa bahwa "nih gue pria masjid". Poin itu penting. Itu semacam membranding diri sendiri. 🤣

Bulan puasa tahun-tahun 80an, waktu itu aku dan anak-anak lain di kampung sudah merancang banyak kegiatan. Karena Pak Harto waktu itu meliburkan sekolah sebulan penuh.

Berbeda dengan masa kini, di mana setiap anak sudah otomatis ditemani gadget, karenanya anak-anak sekarang sepanjang hari hanya ngendon di kamar menonton youtube, main mobile legend, atau sibuk berbalas komen di media sosial mereka. Dulu, tanpa gadget kami harus kreatif membuat kegiatan. Jauh hari sebelum puasa kami sudah mengancar-ancar kegiatan. Lalu sepanjang hari di siang bulan Ramadhan, kami jarang ada di kamar. Kami bertualang kemana saja.

Kalau pas Ramadhan lagi musim kelereng, ya kami kelereng. Musim karet gelang atau kajai, ya kami hilir mudik cari lawan tanding.

Salah satu jadwal kami adalah ngabuburit, atau dalam bahasa kami dinamakan 'mamatang-matang hari'. Tapi beda dengan ngabuburit versi sekarang. Jaman dulu kami justru sudah start mematang-matang hari sejak keluar dari masjid selepas subuh. Usai subuh di masjid, kami maota-ota dulu. Setelah hari agak terang, kami mulai jalan. Tanpa uang di kantong.

Biasanya kami jalan kaki ke Padang Panjang. Jaraknya kikira 7 sampai 8 kilometer. Sepanjang jalan kami asyik ngobrol, ngalor ngidul utara selatan.

Sebenarnya, kalau dikaji-kaji benar, cara kami mematang-matang hari ini termasuk tindakan bodoh. Gimana gak bodoh, tujuan ngabuburit itu sebenarnya kan menghabiskan sisa waktu menjelang tiba waktu berbuka, misalnya sekitaran pukul enpat sore selepas ashar. Kami malah memulainya kepagian. Dengan sarung di selempang.

Adakalanya kami meneruskan jalan ke Lubuk Mata Kucing. Mandi-mandi. Atau memutari pasar Padang Panjang, melihat-lihat dagangan bahan pabukoan. Melihat kolang-kaling yang putih fresh dan berkilau-kilau lumayan menghibur dahaga.

Meski letih dan mulut kelansangan karena haus, tapi semangat menunaikan puasa tak pernah surut. Kami pantang tergoda untuk hanya tidur-tiduran. Seolah kami sedang memperlihatkan pada ummat bahwa berpuasa itu tidak mesti menghabiskan waktu di tempat tidur atau di selasar masjid.

Kami adalah apa yang disebut Hasan Al Bana sebagai ar ruhul jadid fi jasadil ummah” (ruh baru dalam tubuh ummat). Orang dewasa harusnya meneladani spirit kami, para bocah.

Puas mengitari Padang Panjang, kami kembali pulang dengan berjalan kaki. Dan sampai di rumah selepas zhuhur. Ngantuk? Enggak. 😀 acara disambung dengan main monopoli atau halma atau ludo. Kalau gak ada ketiganya, kami main catur jawa alias catur dam-daman. Dam-daman ini mirip catur, setiap pemain harus bergantian menjalankan pionnya. Cuma di sini nggak ada skak math, adanya, cuma makan atau dimakan. Petaknya di gambar di atas tanah atau di lantai.

Kalau bosan jalan kaki ke Padang Panjang, kami punya cara lain mematang-matang hari, yakni main Takok BA Oto. Nongkrong di simpang, lalu ngitung mobil berplat BA versus yang selain itu. Siapa paling banyak dia yang memang. Gitu aja.

Bosan lagi main takok BA oto, aku dan kawan-kawan menghabiskan waktu di jembatan kereta api di Lubuk Hantu. Jalan di lengkungan jembatan, atau tidur-tiduran di atas tiang raksasa jembatan.

Begitulah suasana Ramadhan era 80an, saat aku berseragam putih merah. Suasana yang sangat ndeso dan natural. Jauh dari serbuan teknologi yang merampok masa kanak-kanak.

Marhaban ya Ramadhan.
Selamat menunaikan ibadah bulan Maghfirah ini. Insyaallah Ramadhan tahun inj menjadi Ramadhan terbaik bagi kita semua. Mohon maaf lahir dan batin.
🙏

☕

foto: google img




Tags

Posting Komentar

0Komentar

Bagaimana kisah Anda?

Bagaimana kisah Anda?

Posting Komentar (0)

Portal StatistikEditor : Oce E Satria

Artikel diterbitkan oleh NostaBlog . Semoga artikel ini bermanfaat. Silakan bagikan ke media sosial Anda atau mengutip dengan menyertakan link artikel ini sebagai sumbernya. Terimaksih sudah membaca. Simak artikel-artikel menarik lainnya

To Top