"Bangku Dua", Kenangan Antar Kota Dalam Provinsi

0


NOSTABLOG –– Salah satu kenangan  dekade 70an, 80an sampaiT 90an yang paling diiingat adalah keberadaan oto bus. Khususnya busa antar kota. Anda yang melewati dekade tersebut pastilah pernah menikmati bus antar kota dalam provinsi (AKDP) antar kota antar provinsi (AKAP) dalam melakukan perjalanan.

Ya,  bus adalah moda transportasi yang sangat diandalkan, sebelum  maskapai penerbangan berbiaya murah atau low cost carrier (LCC) dan mobil pridadi hingga sepeda motor menyedot minat penumpang.

Kondisi bus beragam. Dari yang super AC hingga AC dari kaca yang dibuka. Berdesak-desakan, hawa panas serta bau asap rokok yang mengganggu kenyamanan, begitulah suasana yang sering dijumpai ketika jadi penumpang bus untuk bepergian ke suatu tempat.

Bahkan, bus dengan kapasitas tempat duduk mulai dari 28 hingga ukuran jumbo,  menjadi transportasi utama masyarakat untuk bepergian dari suatu kota ke kota lainnya dengan jarak tempuh cukup jauh. 

Khusus Anda Anda yang lahir pada tahun 60an hingga 70an dan tinggal di Sumatera Barat tentu masih sangat hafal merek-merek dinding bus antar kota dalam provinsi di daerah ini yang pernah malang melintang bertahun-tahun di jalanan Sumbar. Apalagi quote-quote puitis dan kadang lucu yang menghiasi jidat dan pantat bus.

Kenangan manisnya adalah, dapat bangku dua dan kebetulan duduk sebangku dengan cewek cantik atau cowok ganteng. Siapa tahu berjodoh! 😛


Padang - Bukittinggi

Untuk trayek Padang-Bukit­tinggi pernah jaya nama PO Triarga dan Cemerlang. Tapi keduanya kemudian sudah tinggal kenangan saja. Rute gemuk ini juga diperebutkan oleh ‘dua raksasa’ ketika itu ANS dan NPM. ANS berbasis di Padang, sedang NPM berbasis di Padang Panjang.

Pesisirnya, selain para pedagang, pegawai negeri, yang terbanyak diisi oleh mahasiswa. Biasanya akhir pekan bus selalu penuh. Sudah jadi pemandangan biasa melihat penumpang berdiri berdesakan dalam bus antar kota berjarak sekitar 95 kilometer itu. Saking ramainya mahasiswa, baik saat pulang kampung pada Jumat atau Sabtu, maupun pada hari Minggu saat kembali ke Padang, karena Senin sudah masuk kuliah.




PO. NPM !! yang merupakan akronim dari “Naikilah Perusahaan Minang”. PO ini telah eksis sebelum Indonesia Merdeka dari penjajah.

Bahauddin Sutan Barbangso Nan Kuniang, sosok yang mendirikan PO ini, sudah lebih dari 3/4 abad yang lalu.. pada tahun 1937 di Kota Padang Panjang, Minangkabau, Sumatra Barat, Maka tidak heran bila Akta Pendirian perusahaan ini berbahasa belanda :mrgreen: . Kota yang berada di kawasan pegunungan yang berhawa sejuk ini menjadi tempat kelahiran sekaligus Kantor Pusat dari PO. NPM hingga sekarang. Awal berdiri PO. NPM hanya melayani rute – rute antar kota dalam provinsi Sumatra Barat. Dan masuk era 1970-1980 an barulah NPM bersama – sama PO bus asal sumatra yang lainnya mulai membentangkan sayap, Menjalani rute – rute antar Provinsi – antar Pulau, dengan poin keberangkatan dari Kota – Kota besar di Sumbar seperti Padang, Bukittinggi, Pariaman, Payakumbuh dll. 

Armada bus – bus yang digunakan oleh NPM didominasi oleh Mercedes – Benz, Mulai varian OH 1113, OH 1518, OH 1521, OH 1525, OH 1526 dan yang terbaru kini NPM mengoperasikan Mercedes -Benz 1836 O 500 R dengan body RS Skyliner, diluar Mercy NPM juga memiliki armada Golden Dragon dengan Mesin Yuchai, Dengan body yang juga bervariasi dari berbagai karoseri besar semisal Adiputro, Rahayu Santosa, Tentrem, dll. Kelas yang dilayani oleh NPM saat ini ada 2 kelas yaitu Jumbo non AC, dan kelas Executive.


Padang - Payakumbuah

Di rute Payakumbuh-Padang ada nama Bintang Kejora, Bunga Setangkai, TES, Sinamar, Soember, Pozla, dan Bahagia. Kini tinggal Sinamar dan Bahagia yang masih menjalani trayek mereka.




Peristiwa yang cukup tragis pernah terjadi di daerah Silaing bawah di Padang Panjang, yakni insiden kecelakaan bus TES jatuh masuk jurang di penurunan menuju Air Terjun Lembah Anai. Puluhan penumpang tewas saat itu.

Rute ini juga diisi mayoritas mahasiswa. Ada anggapan dulu, konon mahasiswi penumpang bus Paykumbuh - Padang terkenal cantik-cantik. Ada pameo bahwa "Gadis Payakumbuh paling manis seantero Sumbar". Entah benar atau tidak.


Padang - Batusangka

Dari Batusangka terdengar pula klakson Gumarang, APD, APB dan Minang Jaya. Ada juga PO Yanti. Gumarang lebih banyak mengambil rute Antarkota Antarprovinsi. Sedang yang lain sudah lama tenggelam. 





Memori paling membuat baper dari kenangan bus rute ini adalah betapa petikan klakson yang khas dengan dendang lagu Minang menghiba-hiba selalu terdengar di pendakian Kelok Sikumbang (kawa­san antara Padang Panjang dan Simabur).



Bukittinggi - Lubuak Basuang

Yang tak kalah terkenal adalah bus "tigo parampek" Harmo­nis dan Harmoni. Dua ‘pendekar’ yang berani turun naik kelok 44 untuk rute Lubuk Basung – Bukit­tinggi. Bus dari terminal Aua Kuniang biasanya merangkak pelan hingga pengkolan Padang Lua arah ke Lawang. Di sana keduanya ngetem dulu menunggu penumpang.

Sama dengan hampir di semua bus di rute mana pun, di bus ini juga familiar dengan alunan lagu-lagu Minang, dan sesekali dangdut. Lagu yang umumnya riang akan diputar saat busa memasuki kelok pertama hingga kelok 44, memasuki kawasan Danau Maninjau. 

Bagi yang tak biasa, melewati kelok 44 tentulah akan membikin perut memilin. Tikungannya kekadang tajam, sementara nun di bawah masih kelihatan liukan aspal berkelok-kelok. Tapi bagi penumpang reguler, jalur maut ini tak menjadi soal. "No prablem isoke aja" , menyitir ujaran Valentino Rossi versi Minang Kocak.

Selain Bukittinggi, Lubuk Basuang juga ada  rute  ke Padang. Rute ini dilayani oleh bus Dagang Pesisir. Sementara dari Pariaman PO Kawan dan Alisma berkejaran berebut penumpang dengan rekan-rekannya dari Lubuk Basung menuju Padang.


Sawahlunto, Solok, dan Sijunjung

Dari Sawahlunto dan Sijunjung nama ADS, HZN dan Dasrat per­nah­ amat jaya. Sama jayanya dengan PO Terang dan Ubani yang mengambil trayek Solok – Padang.

Trayek yang agak lama bertahan adalah Painan – Padang yang dilayani Guntur Super, Habeco, Erlindo dan beberapa yang lain.

Solok - Bukittinggi juga ada satu tigo parampek yang berjaya. Namanya Tanjung Jaya. Bus ini terkenal dengan lajunya yang membuat jantung ciut. Dalam benar pijakan gas Uda sopirnya. Namanya juga bus tigo parampek, spasi bangkunya agak sempit. Tapi kalau berpergian dengan pacar, pameo 'kesampatan dalam kesempitan' menemukan pembenarannya.






Sirna

Tapi masa keemasan angkutan darat itu kini sudah sirna. Menurut Angga Vircansa Chairul, generasi ketiga keluarga Babak yang meneruskan perusahaan keluarga NPM, seperti dikutip Haluan, ada dua hal yang membuatnya demi­kian. 

"Pertama kecenderungan penumpang yang makin banyak berkenderaan pribadi, kedua peng­gu­naan bus besar ternyata melelah­kan orang menunggu, ketiga mis­mana­jemen dan keempat per­saingan dengan angkutan jemput antar atau travel,” kata  Angga.

Kini NPM bersama ANS masih setia menjalani trayek mereka walau jumlah armada tidak seba­nyak dulu lagi. ANS beralih ke kendaraan 3/4 sedang NPM lebih berkonsentrasi pada rute antar­provinsi dan angkutan pariwisata.

Di masa jayanya, NPM memili­ki armada sampai lebih 100 unit dan ratusan karyawan tetap. Tapi kini usaha yang dirintis keluarga Babak sejak tahun 50an hanya memiliki 53 unit bus besar, 2 unit medium dengan 30 orang kayawan serta ratusan pengemudi.

Angga mengakui bahwa marak­nya travel, moda transportasi bus besar tersingikir. Boleh dikatakan saat ini hanya beberapa otobus saja yang menjalani rute AKDP (antar kota dalam propinsi). Saingannya adalah jenis microbus.

Angga Vircansa Khairul, menye­butkan, makin ditinggalkannya bus besar untuk AKDP karena gam­pangnya mendapatkan motor dan mobil pribadi, serta kebijakan pemerintah yg tidak prokepada angkutan massal.

Meski demikian sejak tahun 2011 NPM tetap melakukan pe­rema­jaan unit baru sebanyak 13 bus besar dan 2 unit medium, sasarannya adalah memberikan kenyaman kepada penumpang. “Alhamdulillah trayek Padang-Jakarta-Bandung kini masih tetap lumayan. Dan yang juga laris adalah moda angkutan wisata Vircansa, kata Angga kepada Haluan pekan ini.

Dari Padang Panjang, selain NPM, dulu ada beberapa perusa­haan otobus yang cukup jaya, seperti APD dan PO Manila. Keduanya disamping menjalani trayek AKAP juga melayani trayek AKDP. seperti Batusangkar-Padang, Bukittinggi dan Solok.

PO Manila kepunyaan H Katik As, sudah lama tidak beroperasi lagi, sementara APD milik almar­hum Leman Kayo boleh dibilang “hidup hidup mati”. Kini beberapa armada APD mulai tampil kembali menjalani trayek AKAP. Itupun jumlahnya masih dalam hitungan jari saja.

Hal yang sama juga diakui oleh para pengusaha angkutan antarkota di Payakumbuh. Umumnya mereka mengaku sangat berat bersaing dengan travel dan microbus yang marak semenjak beberapa tahun terakhir ini.

“Matinya operasi bus berka­pasitas 28 penumpang ini, cendrung disebabkan hadirnya bus-bus dengan ukuran lebih kecil. Sehingga penumpang lebih dominan memilih bus kecil yang lebih aman dan nyaman dari bus-bus ukuran besar. Dengan begitu, secara perlahan bus besar ini ketinggalan pe­numpang dan tidak beroperasi lagi,” ujar Eviyunaldi pemilik bus PO Bahagia di Kabupaten Lima­puluh Kota.

Menurut putra Kubang ini, bus ukuran sedang ini mulai diting­galkan penumpang semenjak tahun 2008 dan benar-benar tidak ber­operasi lagi hingga tahun 2011 kemaren. “Bus kecil lebih nyaman, aman dari pencopet dan cepat sampai tujuan. Hal itu berbanding terbalik dengan bus ukuran besar. Hingga tahun 2011, bus PO Bahagia dengan ukuran besar tak satupun yang beroperasi lagi,” ujar pemilik pengusaha perjalanan yang telah beroperasi semenjak tahun 50an.

Ia menceritakan, usaha yang digelutinya sebagai biro perjalan antarkota dalam provinsi itu, dahulunya memiliki lebih dari 30 unit bus dengan kapasitas 28 penumpang. Tetapi, memasuki tahun 2009, satu persatu bus miliknya mulai tidak beroperasi. Hal itu dikarena sepinya penum­pang yang mau menaiki bus ukuran sedang tersebut dan akhirnya perusahaannya itu terus merugi tiap kali bus beroperasi.

Sepinya penumpang ini, ungkap­nya, juga disebabkan banyaknya berdiri kampus-kampus di Kota Payakumbuh ataupun di Kabupaten Limapuluh Kota, sehingga pelajar di Luak Limopuluah yang menjadi target utama penumpang bus ini, lebih cendrung berkuliah daerah sendiri.

“Berdirinya perguruan tinggi di Payakumbuh juga mempengaruhi hilangnya penumpang bus kita, yang umumnya adalah mahasiswa yang melanjutkan pendidikannya di Padang. Tetapi, semenjak adanya perguruan tinggi ini, putra-putri kita ini, lebih memilih berkuliah di daerah sendiri, sehingga penumpang kita jadi sepi,” ujarnya.

Begitu pun dengan penumpang umum, ujarnya, penumpang umum seperti guru ataupun masyarakat lebih memilih mini bus . Dari situ, satu-persatu bus PO Bahagia ini dijual dan diganti dengan mini bus. “ Dari 30 bus ukuran sedang yang ada , kini hanya tersisa 3 unit dan itupun tidak beroperasi lagi. Bus yang pernah berjaya hingga tahun 2010 lalu, digantikan dengan minibus,” ungkap Eviyunaldi yang lebih akrab disapa Ujeng itu.

Hal senada juga dirasakan perusahaan bus PO Sinamar yang berkantor pusat di nagari Tobek Panjang, kecamatan Payakumbuh. Dari 16 unit bus ukuran sedang yang dimiliki PO Sinamar, tak satupun yang kini beroperasi. Bus trayek Payakumbuh-Padang, Paya­kumbuh-Pekanbaru itu, telah digantikan dengan bus yang lebih kecil dengan kapasitas 15 penum­pang atau sering disebut minibus. “Salah satu penyebab tidak berfung­sinya bus ini, juga disebabkan adanya praktek pungutan liar dijalan. Sehingga, setiap kali trayek, selalu merugi,” ujar Azizman Dt. Majo Kayo pemilik bus PO Sina­mar. 

Bus bagi perantau dari Minang menjadi salah satu elemen penting bagi aktivitas perantauan. Kisah perantauan orang Minang mungkin sudah berlangsung berbilang abad. Setidaknya hal itu dapat dikesan dari laporan J.T. Newbold, ‘Sketch of the four Menngkbowe states in the interior of the Malayan Peninsula’, Journal of the Asiatic Society of Bengal 14 (January to December 1835: 241-252) yang mencatat kedatangan rombongan pertama penghijrah Minangkabau ke Negeri Sembilan (Malaysia) pada abad ke-14. 

Demikian pula halnya kisah Nakhoda Muda, seorang Minang yang penjadi pedagang lada di Lampung dan Bantam pada abad ke-17 (lihat: G.W.J. Drewes, 1961).




 Dalam foto di atas terlihat bus ANS bertengger di atas perahu untuk menyeberangi Sungai Kampar yang cukup lebar di Pulau Punjuang. Di seberang sana tampak pula beberapa bus yang sedang antri menunggu giliran untuk diseberangkan. Foto ini tentu dapat membangkitkan kenangan para perantau Minang yang merintis karier perantauan mereka di tahun 1970-an sampai awal 1980-an. Belum diperoleh informasi berapa ongkos untuk menyeberangkan sebuah bus dengan memakai jasa perahu penyeberangan.
***


Oce Satria

Diolah dari berbagai sumber antara lain: busnesia.com, imotorium.com, haluan.com, ayonaikbis.com

Posting Komentar

0Komentar

Bagaimana kisah Anda?

Bagaimana kisah Anda?

Posting Komentar (0)

Portal StatistikEditor : Oce E Satria

Artikel diterbitkan oleh NostaBlog . Semoga artikel ini bermanfaat. Silakan bagikan ke media sosial Anda atau mengutip dengan menyertakan link artikel ini sebagai sumbernya. Terimaksih sudah membaca. Simak artikel-artikel menarik lainnya

To Top