Siapa Pencipta Istilah "Dangdut" dan "Blantika" Musik?

0


Mengenang Majalah Aktuil, Trendsetter Musik Rock Tanah Air Era 70an

Bahwa media massa berperan penting dalam pembentukan norma sosial, media menjadi sebuah trend setter, memang diakui sejak lama. Ia juga kadang-kadang muncul sebagai pihak yang mempopulerkan istilah baru, tren baru, atau perspektif baru terhadap suatu hal. Majalah Aktuil adalah contohnya.

Majalah musik yang pernah berjaya pada era 70-an itu pernah menjadi kiblat tren musik, khususnya musik rock di tanah air. Majalah yang didirikan 8 Juni 1967 oleh Denny Sabri itu berkantor di Jalan Lengkong Kecil 41, Bandung. Bandung memang dikenal sebagai ibukota musik rock tanah air. Sementara Jakarta waktu itu dikuasai oleh musik pop dengan dedengkotnya Koes Plus. Anak Bandung dikenal sebagai anak-anak muda yang eksentrik. Dan musik rock lebih tepat menerjemahkan budaya eksentrik itu.

Dua tahun terbit majalah Aktuil yang meniru Majalah musik Actueel asal Belanda ini belum menggigit. Sambutan luar biasa baru mereka dapat setelah  menurunkan laporan berseri sepanjang tahun 1969 tentang gaya hidup Barat; kehidupan hippies, sistem sosialnya, cara berbusana, seks dan orgy, dan mariyuana.

Lalu tahun 1970 bergabung Remy Sylado, musisi yang juga pengajar teater di Akademi Sinematografi. Di box redaksi, ia menulis namanya dengan Japi Tambayong. Kependekkan dari Jubal Anak Perang Iman Tambayong. Nama Remy Sylado—yang sering dia tulis dengan 23761 diambil dari kord pertama lirik lagu “And I Love Her” dari The Beatles. 

Penggagas sastra mbeling itu rajin menulis puisi mbeling.  Kata mbeling berasal dari bahasa Jawa yang berarti nakal, susah diatur, memberontak. Diksinya main-main, tidak mau mengikuti aturan baku ala para sastrawan serius.  Misalnya puisi karya  Remy Silado ini:

TEKS ATAS DECRATES
Orang Perancis
berpikir
maka mereka ada
Orang Indonesia
tidak berpikir
namun terus ada  

Apa argumen Remy Silado dengan gerakan sastra mbeling itu? Ini jawabannya:

"Seni kaum tua terlalu dinylimetkan dengan teori-teori yang sudah tidak cocok. Seakan-akan puisi itu barang suci yang turun dari surga. Padahal apa sih puisi? jika bukan sekedar pernyataan apa adanya? Dan buat jadi penyair ternyata tidak susah, gampang sekali. Modalnya cukup hanya dengan selembar kertas cebok dan ballpoint 15 perakan.”

Ha ha ha ...

“Itu bagian dari flower generation. Semangat pemberontakan terhadap nilai-nilai yang sudah mapan,” kata Remy Soetansyah, wartawan musik.

Di tahun itu juga ikut bergabung Maman Husen Somantri atau Maman HS, mahasiswa Institut Teknologi Bandung. Ia dianggap menguasai desain. Dia adalah orang di balik ide kreatif pemberian bonus stiker, gambar setrikaan dan poster di Aktuil. Dia juga yang berhasil membuat tampilan Aktuil berani berbeda, dengan background warna gelap yang mencolok. Sangat cocok untuk anak muda masa itu.

Kesuksesan Aktuil secara oplah menembus angka 126 ribu eksemplar.  Angka itu diperkirakan selama kurun 1973 – 1974, atau setelah Aktuil Fans Club [AFC] didirikan. Aktuil jadi bacaan wajib anak muda pertengahan ’70-an.  Positioning Majalah Untuk Kaum Muda dan Mereka yang Berhati Muda agaknya tidak berlebihan.

Redaksi Aktuil, sangat mengagung-agungkan musik rock. Musik yang identik dengan unsur perlawanan. Salah satu tulisan di majalah Tempo, malah menulis Aktuil sebagai “kitab suci” penggemar musik rock di Indonesia. Walaupun belakangan, Sylado menulis soal musik klasik di sana, Aktuil lebih kental nuansa rock-nya. Bagi mereka musik lain adalah kacangan, seperti musik melayu. waktu itu belum dikenal istilah musik dangdut.

“Propagandis musik rock Barat, semua redaktur Aktuil itu,” kata Sylado sambil tertawa.

majalah ini tercatat membuka jaringan kantor perwakilan dan korespondennya di luar negeri (Hamburg, München, Berlin, Swedia, Stockholm, Ottawa, Tokyo, Hong Kong, Kowloon, New York). Padahal, ini, menurut Sylado, hanyalah tipu daya Denny Sabri.

“Denny Sabri itu yang bikin. Dari Jerman dia pindah ke New York. Apalah kerjaannya. Entah, serabutan ndak karu–karuan. Terus, bikin kantor di sana. Kantor apa itu?” Sylado tertawa seperti ditulis Soleh Solihun, wartawan musik Majalah Trax yang juga komika, dan menulis soal Aktuil ini untuk skripsinya di Unpad.

Salah seorang redaktur Aktuil, Billy Silabumi, mengejek musik Melayu dengan istilah dangdut, yang diambil dari bunyi kendang. Waktu itu, belum ada istilah musik dangdut, masih musik Melayu, atau musik Japin—istilah yang dipakai oleh Glamgoli [gelandangan malam golok liar], preman-preman ’70-an di Alun-Alun Bandung yang memang menyukai musik itu. Belakangan, Sylado memakai istilah itu dalam tulisan hingga sekarang orang mengenal istilah musik dangdut. 

Tidak hanya istilah dangdut yang jadi warisan trenstter Aktuil. Istilah blantika pun dipopulerkan majalah ini. ‘Balantik’ diambil dari bahasa Sunda, yang berarti usaha atau dagang. Jadi, yang dimaksud blantika musik adalah musik yang diperdagangkan.

Bicara soal propaganda, Aktuil  tidak bersikap setengah–setengah. Semua musisi rock dibilang superstar, mahabintang. Gito Rollies dibilang superstar, Deddy Stanzah superstar, Ucok AKA pun superstar. Entah baik atau tidak, yang jelas para musisi itu bisa jadi benar–benar terkenal. 

Cara seperti ini bisa dilihat sebagai kiat Aktuil untuk bertahan hidup. Sebagai majalah yang mengandalkan pemberitaan musik, majalah itu harus meyakinkan pembacanya bahwa musik yang diliputnya adalah penting. Maka, untuk membuatnya penting, musik harus ditaruh di tempat terhormat. Harus punya kesan serba besar, serba hebat dan serba spektakuler. 

Aktuil telah berhasil menyulap dirinya jadi panggung gemerlap. Berita yang ditulisnya tidak selalu harus dipercaya, yang jelas ceritanya harus memukau. [KOMPAS, 28 Juli 1991].

Sampai sekarang, dampak pemberitaan Aktuil masih terasa. Nama seperti Gito Rollies, Bimbo dan Harry Roesli masih dikenal orang. Menurut Roesli, Aktuil berhasil memecah konsentrasi orang untuk urusan musik. Sebelum Aktuil terbit, perhatian orang terpusat pada Jakarta, kota asal Koes Plus.

Namun tiras atau oplah Majalah Aktuil mulai merosot di tahun 1976. Di tahun 1977, tirasnya hanya mampu menembus angka 30 ribu eksemplar. Ini makin menyusut hingga ke angka 3.000 eksemplar di tahun 1978. Aktuil lalu juga menulis musik pop.

Salah satu yang paling berpengaruh adalah kenyataan bahwa para redakturnya tidak mampu mengikuti perkembangan jaman. Tren musik rock mulai hilang di tahun ’80-an.

“Pernah pada suatu saat, rock nggak laku. Yang ada fusion, jazz. Nah, jaman ’80-an itu, jaman Casiopea, jaman Chick Corea dan sebagainya. Tren berubah. Mereka [Aktuil] nggak berubah selera dan gayanya. Daya saingnya nggak kuat lagi,” kata Roesli.

Di Indonesia memang Majalah Aktuil-lah yang berhasil memproklamirkan diri sebagai majalah musik. Memang di era 80-90an kita mengenal majalah pimpinan Arswendo Atmowiloto yaknai Majalah HAI, singkatan dari Hiburan, Amal dan Ilmu  dengan semboyan “Bacaan Cowok Paten.” Tapi musik  hanya sebagian dari rubrik mereka.

(Oce/museummusikindonesia/wikipedia/soleh solihun/dll-foto musium musik indonesia)

Posting Komentar

0Komentar

Bagaimana kisah Anda?

Bagaimana kisah Anda?

Posting Komentar (0)

Portal StatistikEditor : Oce E Satria

Artikel diterbitkan oleh NostaBlog . Semoga artikel ini bermanfaat. Silakan bagikan ke media sosial Anda atau mengutip dengan menyertakan link artikel ini sebagai sumbernya. Terimaksih sudah membaca. Simak artikel-artikel menarik lainnya

To Top