Kenangan Masa Kecil (37): Sensasi Mendaki Singgalang dan Marapi

0

Ciloteh/ Oce E Satria


👣

LELAKI harus mendaki gunung.
Waktu SMP aku beberapa kali naik gunung. Merayakan old and new alias pergantian tahun di puncak Marapi dan Singgalang. Ramai sekali tiap 31 Desember di kedua gunung yang selalu menjadi buah handai di lagu-lagu Minang itu.

Ratusan anak-anak muda, dari remaja baru akil baligh sampai mahasiswa menyemut di malam jelang tutup tahun. Dari siang Koto Baru -- shelter pertama Marapi atau Tanjung, Pandai Sikek untuk Singgalang sudah mulai dirayapi para calon pendaki.

Di antara mereka, aku dan beberapa teman SMP ikut menyelinap, mencoba ikut menjadi pria sejati dengan menaklukkan puncak Marapi atau di lain waktu puncak Singgalang. Tentu saja berhondoh poroh mendaki gunung kami, harus menyembunyikannya dari ortu. Dari rumah ngaku hanya nongkrong di rumah teman. Padahal sejak sehari sebelumnya persiapan sudah dimulai. Bekal - meski sekadarnya - sudah disiapkan.

Yang paling mengasyikkan dalam ritual mendaki gunung pada malam tahun baru waktu itu adalah menyaksikan kelompok orang-orang dewasa, rerata mahasiswa, bernyanyi di tiap perhentian. Biasanya lagu-lagu romantis. Di antara mereka ada beberapa sejoli. Malam itu tentu saja menjadi satu malam yang akan mereka kenang. Romantisme kadang terasa lebih hangat di kegelapan dan di kedinginan.

Di situ kadang aku membayangkan, betapa asyiknya naik gunung bareng pacar. Pegangan hingga ke puncak, atau di sela-sela rehat menyanyikan satu dua lagu dari Rod Steward "I don't wanna talk about it...." atau membisikkan selarik dua larik puisi dadakan. Tentu saja yang paling puitis. Dan dia akan semakin lesap hilang lena dalam imajinasi yang entah.

Ah, sayang aku gak punya pacar....

Sementara kelompok-kelompok lain, biasanya mengusung lagu-lagu balada Iwan Fals.

Mereka sebenarnya tidak terlalu berhasrat mencapai puncak. Tapi lebih hanya sekadar menikmati malam pergantian tahun. Makanya kelompok-kelompok seperti ini hanya menghabiskan malam di pesenggrahan Amour Natura di Marapi atau di areal stasiun pemancar TVRI di pinggang Singgalang.

Namun aku dan teman-teman lebih memilih menuntaskan pendakian. Berbekal obor yang kami bikin sendiri dari rumah, kami merayapi punggung Marapi, menyelinap di belahan yang terjal, atau mencari akar-akar kayu untuk melewati sisi-sisi yang rawan.

Karena remang-remang dan nyaris gelap, seringkali aku kepegang kepala orang yang kukira tunggul kayu. Kontan saja orang yang kepalanya kujadikan pegangan itu berteriak.

"Woiii....ini ada orangnyaaaa...?"

"Bos...kepala ini bos, bukan kayu!"

"Batoo kawaaaan.....kapalo den ko mah. Sumbarang pacik seee....!"
(Gimana sih, bro, kepala gue nih. Sembarang pegang aja...!)

Begitulah suara-suara teriakan mereka yang kepalanya kupegang karena kukira bongkahan batu atau bonggol kayu. ðŸ˜‚

Karena darah masih panas, aku dan teman-teman biasanya sudah sampai di puncak sebelum subuh. Kami menikmati padang pasir yang cukup luas di atas. Menyempatkan ke Merpati (Marapi paling tinggi) semacam gunung kecil di puncak Marapi. Atau melongok kaldera yang meruahkan asap dari magma dan lahar jauh di kedalaman lubang raksasa. Seskali mencoba melemparkan kerikil ke tengah-tengah kawah. Namun lemparan tak pernah sampai tengah. Kerikil mendarat di dinding kawah.

Sayang, karena kantong cekak, kami tak berbekal kamera tustel. Tak ada foto-foto. Andai waktu itu sudah ada android, tentu akan sangat banyak momen yang bisa kuabadikan.

Waktu SMA, aku juga masih melakukan pendakian. Sekali waktu temanku 
Oki Nazmel
 mengajak naik Singgalang. Tapi momennya bukan tahun baru. Kami mendaki pada malam minggu. Selain Oki, juga ada Daherman Boy (sekarang Dt Rajo Pangulu), ada Wandi dan beberapa teman lain.

Sebelum memulai pemdakian kami istirahat dulu di rumah Wandi yang juga rumah Gustinefa di Tanjung Pandai Sikek. Menikmati kopi dan mempersiapkan berbagai hal.

Pukul sembilan malam kami mulai menapaki track. Menyusuri jalur Singgalang yang dipenuhi rimbun kayu. Jalurnya tak semulus Marapi. Tapi justru merayapi yang tak begitu mulus mendatangkan sensasi tersendiri. Ada banyak jurang dan keterjalan yang lumayan menantang. Singgalang yang sudah tak perawan tetap masih asyik didaki.

Kadang karena sebelumnya hujan, jalur bisa menjadi licin. Sering juga aku terjengkang dan tersialir di belahannya yang licin. Tapi untung di sana banyak sekali akar-akar pohon yang lumayan kuat. Cukup membantu.

Pukul 03.00 WIB kami sudah sampai di dagu Singgalang. Terlalu cepat sampai. Masih gelap. Sampai pada saat gelap di Telaga Dewi di puncak Singgalang, tentu kurang afdhol. Tidak menarik karena tak ada yang bisa dinikmati.

Rehat dulu, menyeduh kopi dan menikmati isapan Jie Sam Soe. Menghangatkan tubuh dengan membuat api unggun kecil. Mengobrol sana-sini.

Pemandangan di bawah sana masih berupa gelap. Sepertinya kami kurang perhitungan, tak mengantisipasi waktu yang dipakai. Sejak awal kami mendaki dengan kecepatan yang lumayan. Maklum teman-teman tak sabaran ingin sampai puncak. Pelajaran moral dari hal ini adalah, jika kita terburu-buru dan terlalu bernafsu maka kita akan terlalu cepat sampai puncak.

Setelah dirasa rehat cukup, kami lalu melanjutkan sisa pendakian. Barang-barang dikemas dan kembali on fire. Melangkah naik.

Kami sempat terkejut ketika akan memasuki kawasan puncak Singgalang, kami berpapasan dengan dua lelaki. Mereka menuju arah turun. Wah, hebat sekali mereka jam segitu sudah kembali dari puncak. Pukul berapa mereka sampai?

Salah satu pria itu kutahu nama karibnya. Namanya Kantang. Hehehe, namannya aneh juga. Setahuku dia berjualan di pasar Padang Panjang. Anak Tanah Hitam, tapi neneknya orang Aie Angek.

"Hati-hati aja, tadi kami sempat lihat jejak harimau," ia mengabarkan sesuatu yang membuat kami agak khawatir.

Setelah bercerita dan berbagi rokok, si Kantang tadi dan kawannya meluncur turun. Oleh Datuak kami disemangati gak usah khawatir dengan jejak harimau.

"Bismillah saja. Kalau kita nggak mengganggu, ndak apa-apa," katanya.

Ternyata informasi si Kantang tadi benar. Di pinggir Telaga Dewi kami lihat memang ada jejak Harimau. Tapi lantaran sudah kadung sampai puncak, jejak harimau tak terlalu kami pedulikan. Kami menikmati dinginnya air telaga, merasakan sejuknya semilir angin dari sela-sela pohon yang memagari Telaga Dewi.

Begitulah, mendaki gunung memberikan semacam sensasi lelaki. Bahwa untuk sampai ke puncak untuk menikmati keindahannya, kita harus menikmati perjalanan sepanjang track. Menikmati sambil bercerita, merayapi pinggang Singgalang tanpa harus memaksa menguras tenaga. Dan pada saatnya Telaga Dewi akan terasa sangat puitis.

☕

Tags

Posting Komentar

0Komentar

Bagaimana kisah Anda?

Bagaimana kisah Anda?

Posting Komentar (0)

Portal StatistikEditor : Oce E Satria

Artikel diterbitkan oleh NostaBlog . Semoga artikel ini bermanfaat. Silakan bagikan ke media sosial Anda atau mengutip dengan menyertakan link artikel ini sebagai sumbernya. Terimaksih sudah membaca. Simak artikel-artikel menarik lainnya

To Top