Kenangan Masa Kecil (27): Turnamen Anak-Anak Kedai Kopi

0


Ciloteh/ Oce E Satria

👣
( )
Tanda kurung itu adalah dua jam di mana aku bingung mau menceritakan apa. Ternyata rentang waktu yang pendek juga memendekkan ingatanku. Sepertinya aku harus membuka diary lagi.
Lalu tiba-tiba ingatanku kembali menjangkau waktu yang lebih jauh.
Adalah suatu masa di mana aku hampir seminggu memikirkan nama dan profil seseorang. Waktu itu aku sudah berseragam putih abu-abu.
Ada suatu masa, di mana aku dan beberapa pria konyol yang suka berlagak paling yahud, terbius oleh kilas sudut mata bening perempuan berpinggang ramping itu. Suatu sore si manis itu lewat di depan kedai kopi, tempat kami biasa nongkrong.
Mula-mula aku yang maju. Berlagak santing, melipat tangan di dada, menyelipkan korek api bekas di sela bibir. Tak peduli, padahal sudah merapung gelang-gelang di perut karena belum makan, bercericit saja cacing tanpa bisa kukendalikan.
Dia, si manis bermata jernih itu terlihat di ujung jalan......
Benarlah cerita yang dibeberkan Hermansyah di grup anak-anak kedai kopi Tek Mia, bahwa perempuan yang baru datang itu adalah perempuan yang tiba-tiba menghanguskan semua gambar gadis-gadis paling cantik sekalipun di kampung kami. Mereka hilang pasaran.
Ia dipastikan masih gadis. Karena sejak kemunculannya di kampung ini, belum sekali pun terlihat ada laki-laki bersamanya. Selain itu, Darudin pun menegaskan dugaan itu. Soal gadis atau sudah menikah, pengetahuan itu memang milik Darudin. Ia paling jago menebak. Ia mahir membedakan mana nona mana nyonya. Konon dari ciri-ciri bentuk pinggul, dada, bibir, dan segala macam atribut anatomi yang ia sebut sebagai body language. Entah dari mana ia dapat istilah itu.
"Dari cara gerimit bibirnya, bisa kutebak, ia sudah beberapa kali bersalin ke rumah bidan," bualnya tempo hari, waktu kampung kami dapat kunjungan seorang pejabat kabupaten yang baru. Darudin langsung tahu bahwa istri pak pejabat yang molek itu sudah punya empat anak. Dan itu terbukti saat bapak itu berpidato. Kepada khalayak sembari mengenalkan diri, termasuk istrinya, ia berkata bahwa dirinya baru ikut KB setelah terlanjur punya 4 anak. Aneh juga bapak itu, tak sungkan mengaku tak ikut program nasional pemerintah itu.
"Tapi jangan ditiru, ya!" pintasnya disambut gelak berderai hadirin.
Begitulah Darudin. Pandai menerka orang berdasarkan ilmu body language.
Lalu soal gadis baru di kampung kami yang belum kami tahu namanya itu, telah membuat kami merasa mendapat peluang baru, tapi juga tantangan berat. Jalan pikiran kami, para lelaki kedai kopi, sama. Gadis baru itu harus bisa ditaklukkan.
Tapi bagaimana cara menaklukkannya? Sementara saban hari ia hanya lalu lalang begitu saja, hilir mudik langsir dari ujung kampung ke sudut lainnya. Macam sedang melakukan riset saja. Ia terlihat tidak begitu open dengan keberadaan kami, para pria kedai kopi. Sehingga sampai kini kami belum mendapatkan informasi perihal biodatanya.
Sampai kemudian, Anto , teman kami, menyampaikan informasi terbaru. Ia menyebut, gadis itu ternyata asli orang kampung ini. Ia lahir dan besar di Bandung. Karena papa dan mamanya merantau ke sana, belasan tahun silam. Papanya adalah anak Mak Tuah, orang Panyalai yang berumah di baruh, dan istrinya, mama si gadis itu, adalah anak Mak Palindih, orang Koto.
Hmmm....cewek Bandung.
"Mereka pulang habis. Usaha mereka bangkrut di sana," lapor Thomas.
"Sahih tu?" kami menyelidik.
"Sahihlah," seringainya.
Tapi, apapun latar belakang kepulangan keluarga gadis itu, sebenarnya kami tidak terlalu peduli. Dia, gadis itu, cewek Bandung. Bukankah istilah itu --cewek bandung-- sudah menjadi buah handai kami sejak dulu? Itu semacam sertifikat pada batu akik, pertanda batu akik mahal, dan karenanya jadi rebutan.
Jadi, saat itu kami sedang berada pada liga memperebutkan sertifikat: cewek Bandung.
Mulailah aku menyusun strategi, berhitung-hitung peluang. Berat sebenarnya. Karena pesaingku punya kartu coki masing-masing. Darudin, gagah dan ayah mandenya toke sayur Padangluar-Batam. Thomas, agak macho, meski tak bisa dibilang anak orang berada tapi dunsanak familinya bertebaran di Tanah Abang. Zaini jangan disebut lagi, ia cowok putih bersih, sisir ranbutnya belah pinggir dan rapi. Ia mungkin bisa diumpamakan dengan pria metroseksual di majalah-majalah populer.
Dan aku, meski tak gagah-gagah benar, rambut semrawut, tidak segempal mereka-mereka, tapi aku tetap percaya diri. Aku punya apa yang kawan-kawanku tak memiliki. Hmmmm...., sudah di bibir tepi cawan rasanya. Si cewek Bandung itu akan menjadi pomle-ku. Amboiii....
Kenapa orang baru - terutama perempuan - selalu terlihat memikat? Seperti magnet, mengisap kutub rasa terindah di kepala lelaki. Seperti madat, membius kesadaran, lalu lunglai lena diayun angan.
Serupa itulah aura yang ditebar gadis Bandung itu. Padahal, sebelum Tuhan mengirimnya ke sini, kampung kami pun sudah memiliki deretan gadis-gadis memesona yang selama ini jadi rasian malam-malam lelaki tanggung. Mereka jadi gosip kami di palanta kedai kopi. Menggunjingkan pesona yang mereka tebar saat mereka pulang mandi dari pancuran. Kadang romantisme merebak, kadang syahwat menjadi liar di kepala, melihat mereka menggendong cucian dengan rambut basah.
Bolehlah kuceritakan satu dua di antara mereka.
Sebut saja Sania, yang tinggal tak jauh dari kedai kopi. Ia gadis dengan profil paripurna. Matanya jernih. Wajahnya serupa bulan menjelang empat belas. Dan ujung bibirnya serupa dua pedang: menggetarkan.
Usianya sekitar empat semester di bawah kami. Aku selalu terpikat pesonanya setiap kali ia berangkat sekolah menuju jalan besar menunggu oplet. Persis ketika ia melintas di depan kedai kopi tak lupa aku mengirim senyum padanya. Ia membalas ala kadarnya, malu-malu. Selalu begitu.
Ia memikat benar. Wajahnya menyalin rupa Ria Rezty Fauzi, yang lagunya 'Ranjau Ranjau Cinta' selalu diputar stasiun radio AM. Cantik, dan sepintas terkesan judes. Tapi ia tidak judes.
Pernah sekali waktu aku seoplet dengan Sania saat ia pulang sekolah. Waktu itu aku menghabiskan siang di tempat penyewaan komik.
Apa yang terjadi selama lima belas menit aku duduk persis di sampingnya? Tidak ada.
Padahal desakan dari dalam ingin sekali mengajaknya ngobrol. Dan kalau itu terjadi, tak terkira jumawanya aku mengisahkannya pada bujang-bujang lapuk di kedai kopi.
Jangankan mengobrol, sepatah basa-basi pun tidak. Bibirku terkunci saja dan kecuali hanya bisa senyum-senyum tiap sebentar saat kami bersitatap. Aku macam orang tolol saja.
Aku tak paham psikologinya. Apa yang diinginkan seorang perempuan saat berada di samping lelaki seperti aku, pria introvert ini? Aku awam tabiat perempuan.
Bertahun-tahun kemudian baru kutahu penyebabnya kenapa lidahku kelu dan jantungku kecut saat berada di samping perempuan semanis Sania. Artikel psikologi di majalah remaja menyebut, pada kasus seperti yang kualami yang terjadi adalah perang ego dan inferiority complex dalam situasi tak terkendali. Simpelnya: nafsu besar nyali kecil.
Beruntung, pada titik di mana keberanian muncul aku mengajukan proposal pada Sania.
Face to face? Tidak.
Aku menulis panjang lebar di empat lembar kertas surat warna biru muda dengan siluet camar dan laut. Bukan karena sengaja kupilih kertas biru bersiluet seperti itu, tapi memang hanya itulah stok yang ada di toko Tek Ros. Itupun aku diciee-ciee kan Tek Ros sambil cekikikan. Tentu saja wajahku merah padam.
Tapi surat biru bersiluet camar dan laut itu akhirnya tak jelas nasibnya. Entah dibaca entah dilungsurkan ke tong sampah.
Cintaku bukan saja tak berbalas, tapi tak jelas. Kandas. Sania lesap. Tentu ia sudah punya peta jalan sendiri. Dengan lelaki lain, pasti.
Aku lunglai.
Anak-anak kedai kopi ngakak sejadi-jadinya.
Bangsat!
☕

“Jangan habiskan waktumu memukuli dinding dan berharap bisa mengubahnya menjadi pintu.” - Coco Canel

Posting Komentar

0Komentar

Bagaimana kisah Anda?

Bagaimana kisah Anda?

Posting Komentar (0)

Portal StatistikEditor : Oce E Satria

Artikel diterbitkan oleh NostaBlog . Semoga artikel ini bermanfaat. Silakan bagikan ke media sosial Anda atau mengutip dengan menyertakan link artikel ini sebagai sumbernya. Terimaksih sudah membaca. Simak artikel-artikel menarik lainnya

To Top