Ciloteh/ Oce E Satria
👣
AGAK sulit memanggil ingatan tiga puluh tiga tahun silam. Apalagi kalau gak punya catatan harian. Kalau pun punya, aku harus membukanya terlebih dahulu. Membuka hari demi hari di 360an halaman diary.
Tapi diary ada di rumah. Karena malam ini aku sedang berada di pos ronda (bukan giliran aku sebenarnya sih, tapi aku memang suka nyamperin bapak-bapak yang lagi ngeronda. Jam-jam segini - jam satuan- aku suka ngacir ke pos ronda) tanganku gatel aja mencet-mencet kibod hape.
Lagi pula ternyata serial Kenangan Masa Kecil ini ada pembaca fanatiknya. Wkwkwk. Tadi ada yang sampai ngimbox, dia nanya, kok cerita bersambungku gak disambung? 

. Ya ampun, dia pikir halaman Facebook ini halaman majalah yang cerbungnya gak boleh putus-putus?



Gini, tulisan ini hanya tulisan ngalor ngidul aja. Iseng. Stylenya pun gak ngikuti patron atau pakem. Penulisnya, layoutnya, pemrednya kita sendiri. Jadi suka-suka gue.
. Pokoknya aa nan takana se dari zaman saisuak. Lantaran kalau bikin status politik dan gonjang ganjing dunia persilatan aku sudah eneg dan muak. Terutama sejak peristiwa KM50. Bikin menggaritih dan apatis.

Momen dan masa yang paling cepat kupanggil dalam ingatan malam ini adalah saat tamat SMP dan menjadi siswa baru SMA Negeri Padang Panjang.
Di kota dingin itu memang hanya ada satu SMA milik pemerintah, makanya disebut SMA Negeri saja. Yang swasta ada SMA Sore di Bancah Laweh, dan SMA Muhammadiyah di komplek Kauman.
Aku mendaftar di SMA Negeri dengan bekal NEM lumayan tinggi, 41,05. Dengan NEM setinggi itu aku sebenarnya bisa diterima di mana-mana.
Oleh Mamakku yang tinggal di Bukittinggi aku disarankan masuk di SMA 2 Bukittinggi. Waktu itu aku mendaftar di sana, tapi dengan perasaan bimbang. Pasalnya kalau sekolah di SMA 2 Bukittinggi aku harus tinggal di rumah Mamakku di Belakang Balok. Waduhh, aku menjadi gelisah. Bukan apa-apa, tapi membayangkan tinggal di rumah Mamak yang anaknya enam orang perempuan semua, aku berubah pikiran. Kebayang gimana kikuknya aku sepanjang hari berinteraksi dengan enam cewek. Pastilah aku salting terus, secara aku pemalu. Padahal mereka baik, ramah, welcome, dan....cantik-cantik.
Akhirnya setelah mikir panjang kubilang pada Etek bahwa aku batal masuk SMA 2. Sementara di hari aku menyampaikan keputusan itu Etek tengah memproses namaku untuk dimasukkan ke dalam administrasi sistem penggajian beliau di kantornya. Masuk SMA 2 kuanulir. Aku memilih SMAN Padang Panjang.
7 Juli 1988 namaku ada di deretan pengumuman siswa baru SMAN Padang Panjang. Resmi bakal berkostum putih abu-abu. Senang bukan main saat menjemput seragam di Zamra Taylor. Penjahit langganan bapak, selain Muda Mudi Taylor.
18 Juli 1988, dari rumah menuju jalan raya, menyetop oplet ke Padang Panjang, lalu berjalan kaki dari terminal menuju sekolah di Guguak Malintang, aku merasa sangat dewasa. Ini kali pertama pakai seragam sekolah celana panjang. Pagi itu kota dipenuhi pelajar, karena hari pertama tahun ajaran baru dimulai.
Sekolah dimulai dengan upacara bendera dengan pembina upacara Dandim. Sekalian pembukaan Penataran P4 yang akan berlangsung sampai tanggal 23 Juli.
Hari itu, usai menjalani Penataran P4 bersama Pak Yamin yang membahas Wawasan Wiyata Mandala, di luar kelas kami menjalani ospek. Menjalani masa penyiksaan oleh senior. Yang kuingat, sekali waktu aku sempat kebagian digertak senior, panitia ospek. Kebetulan yang memanggilku waktu itu namanya Cilaik, aku tahu namanya karena ia dipanggil dengan nama itu oleh teman-temannya. Nama resminya Ikhlas Ruslan. Belakangan aku tahu dia Ketua Osis. Perawakannya kurus tinggi setinggi aku, kulitnya hitam manis, kalau bicara sering cepat, buru-buru.
"Siapa namamu?" ia menepuk bahuku. Kujawab seadanya, dengan nada tegas nama pendekku.
"Dari SMP mana....????" masih dengan suara keras dan wajah diseram-seramkan (tapi terlihat imut
) ia bertanya lagi.

"SMP Koto Laweh," jawabku.
"SMP mana itu? Heii...ada yang tau Koto Laweh?" ia mengkonfirmasi teman-temannya, sesama panitia. Seolah-olah ia baru saja mendengar sebuah nama jorong di provinsi Bujumbura Mairie di Burundi Afrika sana.
Anjriiiit! Dia gak tahu Koto Laweh. Miskin sekali orientasi lingkungannya. Sok kali anak ini.
"Woiiii..kampuang den tu mah! Talonsoang ang mah!" tiba-tiba salah seorang panitia menyela, anaknya pendek gempal dengan rambut keriting . Owh, ternyata dia anak Koto Laweh. Siapa ya? Belakangan aku tahu namanya Pilem. Itu nama ngetopnya. Tapi sebenarnya dia bukan orang Koto Laweh.
Begitulah ospek berjalan seperti biasa, sama saja di mana-mana. Senior petantang petenteng lantaran sedang merasa di atas, menjadi panitia, merasa jadi Bang Jago alias sadang mamacik. Persis politisi yang partainya menjadi the rulling class, suka seenaknya. Macam negara ini partainya yang punya.
Pernah pada momen lain, aku dipanggil salah seorang senior. Lalu membawaku masuk ke ruang kelas. Padahal saat itu jam istirahat penataran. Ia melihat ada kesalahanku yang bisa jadi alasan untuk menunjukkan powernya. Aku menurut.
"Kamu tahu nggak apa kesalahanmu?" seperti biasa senior anjrit ini menghardikku.
"Tahu, kancing baju saya nggak dikunci," jawabku.
Matanya mendelik, dibesar-besarkan. "Apa dadamu besar?"
"Sedang elap," jawabku sekenanya.
Akibat jawaban konyol itu dia melayangkan tendangan ke pantatku. Mungkin menganggap jawabanku meremehkannya.
Aku langsung protes. "Kak, dalam plonco ini main tendang dan tampar nggak dibolehkan. Tidak manusiawi!"
Belakang hari, aku dan dia sama-sama menyulut Bentoel Biru di lapau Ni Ena, di belakang sekolah.
Meski ospek sepintas terkesan kasar, namun sebenarnya mengasyikkan. Hanya saja tujuan orientasinya kadang dilupakan para senior kalera itu. Mereka gak paham esensi ospek. Lalu lebih mengutamakan perploncoannya. Tapi, yaaa maklumlah, orang Indonesia memang terobsesi memerintah dan berkuasa dan ingin memperlihatkan kekuasaannya kepada pihak lain. Orang Indonesia butuh semacam pengakuan. Persis seperti aku yang ingin diakui dewasa. Atau orang-orang yang selalu ingin diakui kaya, ingin diakui pintar, ingin diakui wah, ingin diakui kelebihannya.
Penataran P4 dan Ospek disudahi dengan acara api unggun dua jam menjelang magrib. Keriuhan selama sepekan dilepas dengan Api Padam Puntuang Anyuik. Lalu menunggu pembagian kelas. Senin lusa.

"Aku memilih untuk membuat sisa hidupku menjadi yang terbaik dalam hidupku." - Louise Hay
Bagaimana kisah Anda?
Bagaimana kisah Anda?