Kenangan Masa Kecil (40) Ramadhan (3): Junior Belum Pulih...Tapi

0
Ciloteh/ Oce R Satria 

👣

Waktu paska si juniorku disunat, harusnya aku beristirahat di rumah nenek di Bukit Surungan. Tapi lantaran kakak dan adikku diboyong Bapak libur ke Bawan, aku justru merengek minta ikut. Meski baru sehari pakai celana, hari itu aku nekat ikut. 

Jadilah, dengan kondisi si junior yang harusnya dalam masa pemulihan, kupaksa ikut bertualang ke rimba raya. Tak mungkin doi kutinggal.

Dan terbukti keputusanku bukanlah keputusan tepat. Di atas bus, selama dalam perjalanan aku benar-benar tersiksa. Mana panas garang lagi. Kebayang kan, luka bekas kerjaan mantri sunat terkurung dalam situasi panas dan berkeringat.  

Untung pada tahun 1984 itu jalan by pass dari Lubuk Basung ke pasar Lambah dan  Kinali  sudah dibikin. Lumayan mengurangi penderitaan jika harus melewati Batu Kambing. 

Sampai di Simpang Bawan, dua kilometer dari Pasar Lambah, kami turun. Beristirahat sejenak, makan dulu. Bapak mengambil sepeda yang dititip di kedai langganannya. Oleh Bapak aku ditaruh di boncengan, berhubung statusku masih pesakitan. 

Kendati duduk di boncengan, nggak otomatis si juniorku aman-aman dan nyaman saja. Sama sekali tidak.  Tetap saja barang paska operasi tersiksa di bocengan melewati jalan tanah setapak . Jarak dari Simpang Bawan ke  rumah di lokasi kikira sepuluhan kilometer. Entahlah. Pokoknya jauh.

Bapak yang terbiasa menghadapi tersangka bromocorah alias residivis di ruang pemyidik itu, tenang-tenang saja menuntun sepeda berisi barang bawaan dan anak bujangnya. Bapak pasti tahu aku tersiksa karena tiap sebentar aku meringis menahan nyeri. Maklumlah  paska luka sunat  bergesekan dengan celana dan goncangan sepeda sungguh menyiksa sekali. 

Tapi Bapak cuek aja. Beliau seperti pura-pura tak tahu. Mungkin itu cara Bapak mengajarkan aku agar jadi laki-laki jangan cengeng. 

Okelah kalau begitu.

Singkat cerita, jelang magrib kami sampai di rumah di tengah kebun kelapa dan ladang kacang tanah. Di sekeiling rumah ditumbuhi aneka pohon yang rimbun. Lumayan membuat suasana rumah adem. Karena secara topografi, kawasan Bawan adalah wilayah tanah datar yang  jauh dari pegunungan, lebih dekat ke pinggir pulau Sumatera. Karena itu suhu di sana selalu panas. 

Malam itu aku pulas tertidur di lantai papan. Aku lupa, apakah saat itu aku sempat mimpi atau enggak. Lagian, aku memang orang yang selalu lupa dengan mimpi. Sering bangun tidur aku ingat aku mimpi dalam tidur. Tapi selalu tak ingat kronologi  mimpi. Sebagian orang justru ingat detail mimpinya, sampai percakapan yang terjadi di mimpinya bisa diceritakan. Aku nggak begitu.

Esoknya, akibat melakukan perjalanan yang melelahkan (bus yang sempit, jalan tanah yang jelek, dan cuaca panas) kondisi si Oce kecil agak mengalami problem: meruyak bekas jahitannya. Untung Bapak punya cara mengatasinya. Bukan dengan penisilin atau tetrasilin, tapi bubuk rautan batok kelapa alias sayak. Bubuknya ditaburi di sekitar bekas jahitan. Kata Bapak supaya cepat kering dan sembuh. Ternyata memang cespleng.

Tapi kondisi itu kujadikan alasan untuk tidak ikut puasa. Lumayan bisa minum bebas di siang hari. Tapi hanya tiga hari. Setelah itu aku pulih total. Dan bisa ikut bantu Bapak dan Amak menanam kacang. 

Cara menanam kacang goreng adalah dengan dituga. Sebuah kayu mirip alu yang ujungnya runcing ditancapkan ke tanah, untuk membuat lubang di mana biji kacang ditanam. Aku ikut menuga. 

Tanah yang dua hektar itu dibagi-bagi menjadi beberapa bagian. Tanaman kacang ditanam dengan kelompok-kelompok tahapan. Di bagian lain di tanam padi, bengkuang, dan sayuran. 

O ya, tentang  hama babi, selain diawasi dengan ronda saban malam, Bapak juga punya senjata api laras panjang yang dilpinjamkan Polri. Kalau tak salah mereknya Pingpong, entahlah aku lupa mereknya. Pelurunya panjang kikira kaliber 9 mm.  Dengan senapan panjang itu Bapak mengusir Babi. Tapi jarang dipakai. 

Kapolri  kemudian  mengeluarkan kebijakan penarikan semua senjata yang dipakai purnawirawan, namanya Operasi Sapu Jagat. Senapan di tangan Bapak  akhirnya diserahkan ke institusi Polri. 
Namun belasan peluru masih tersisa. Lunayan buat koleksi. Sekarang ga tau di mana peluru-peluru itu. Waktu SMA aku pernah menjadikannya kalung. Padahal peluru aktif. 

Siang hari bekerja membantu Bapak dan Amak di ladang, malam hari begadang meronda babi. Sambil menikmati kopi dan menyulut rokok daun nipah. Nikmat sekali. Jadi, dari kecil aku memang sudah fasih merokok 🙏.

Karena anak Amak semuanya laki-laki, apa boleh buat, tiap sore aku dan adikku mendapat tugas mengurus dapur. Tak begitu  lama dan sulit Amak mengajarkan tutorial menggiling cabe, menggoreng, menumis, sampai menggulai ayam. Semuanya khatam secara kilat. 

Selama libur di sana  aku sering menggulai ayam untuk menu buka puasa. Kami punya kandang ayam, dan banyak ayam yang siap dipotong. Dari memotong ayam, menguliti sampai menggulai dan plating  alhamdulillah bisa kukerjakan. Padahal aku masih kelas 5 SD. 

Karena bulan puasa, takjil untuk buka puasa selalu tersedia. Ada pisang, ubi dan lain-lain yang bisa dibuat kolak. Itu juga aku bisa membuatnya.

Amak sibuk sampai jelang bedug berbuka mengerjakan berbagai-bagai kerja di kebun. Beliau tipikal wanita yang tak bisa diam. Menggarik saja. Tugas dapur itu urusan aku dan adikku. Biasanya anak bontot dan junior selalu disuruh-suruh. Yang senior punya tugas lain. Selesai tugas di dapur aku boleh main sepeda. Sepeda ontel.

Mengingat kronologi masa itu, aku selalu merindukannya.  

foto:ilustrasi/google image
Tags

Posting Komentar

0Komentar

Bagaimana kisah Anda?

Bagaimana kisah Anda?

Posting Komentar (0)

Portal StatistikEditor : Oce E Satria

Artikel diterbitkan oleh NostaBlog . Semoga artikel ini bermanfaat. Silakan bagikan ke media sosial Anda atau mengutip dengan menyertakan link artikel ini sebagai sumbernya. Terimaksih sudah membaca. Simak artikel-artikel menarik lainnya

To Top