Kenangan Masa Kecil (34): Diinterogasi Guru BP

0

Ciloteh/ Oce E Satria

 ðŸ‘£

BELUM pernah aku dipanggil ke ruang guru BP. Kecuali suatu kali, saat kelas 1 di SMA. 

Waktu itu aku senang mengikuti kelas konseling Bimbingan dan Penyuluhan. Waduh, aku lupa nama guru BP-nya. Kalau gak salah beliau istri dari dokter yang berpraktik di rumahnya, tak jauh dari sekolah. 

Kelas konseling dilaksanakan pagi hari, sementara untuk pelajaran reguler kami masuk siang. 

Yang membuat aku antusias mengikuti kelas konseling karena ada bahasan tentang minat dan bakat, juga hal-hal terkait psikologi remaja. Termasuk motivasi dari guru BP untuk pilihan masa depan kami. Intinya, guru BP akan membimbing kami dalam menentukan pilihan jurusan di kelas dua nanti. 

Beberapa kali mengikuti kelas BP, aku menulis sebuah artikel berjudul "KRITIK UNTUK GURU BP: BELUM MAKSIMAL MEMAHAMI SISWA". artikel itu kukirim ke KMS SINGGALANG, dan dimuat. 

Nah, artikel itulah yang membuat aku dipanggil bu guru BP. Rupanya beliau membaca tulisanku di KMS. 

"Eka, selesai nanti kamu ke kantor BP, ya!" begitu prentah Bu BP. Kontan saja aku deg degan. Apa pasal nih? Prasaan kelakuanku ga ada yang aneh-aneh. Di kelas aku juga aktif. Hmmmm.....

Selesai kelas BP aku melangkah ke kantor BP, lokasinya di seberang kanan pustaka, dilantai atas, dekat kantor OSIS. 
Di tangga kembali aku mematut-matut diri, meneliti kalau-kalau ada kancing baju yang gak kepasang, atau rambut yang kurang rapi. Usai bercermin sekilas di kaca depan, aku melangkah pelan-pelan.

Setelah mengetuk pintu dan dengan gugup mengucap salam, aku dipersilakan duduk di kursi di seberang meja beliau. Siap-siap diinterogasi.

"Bagaimana rasanya mengikuti kelas BP?  Eka ada masalah?" beliau melepaskan pertanyaan pertama.

"Ndak ada, Buk," jawabku, masih gugup.

"Benar ndak ada? Kamu harus yakin kalau ada masalah  sampaikan saja. Itu gunanya BP ini," nadanya mulai ga enak.

"Yakin, Buk. Saya senang mengikuti pelajaran Ibuk."

Bu BP menarik nafas, gak panjang-panjang. Lalu sembari tetap menatap ke arahku, beliau mengetuk-ngetukan pulpen ke meja. Aku berusaha mencari paham, apa maksud pemanggilan ini. Hingga akhirnya beliau berucap:

"Ibuk sudah membaca tulisan  Eka di koran KMS. Kritik Eka untuk guru BP. Itu asli Eka yang menulisnya?"

Oaaaalah, soal artikel saya!

Aku mengangguk. "Iya, Buk!"

"Bagus tulisannya. Sudah seperti pengamat. Jadi, coba jelaskan di sini, bagaimama seharusnya guru BP menurut  Eka!"

"Sudah saya tulis di artikel itu, Buk."

"Iya, saya tahu, saya sudah membacanya.  Tapi saya ingin mendengar kamu jelaskan lagi sekarang."

Matik aku!

Karena masih nervous, aku pun menjelaskan kembali poin-poinku dengan ringkas. Poinku adalah sejumlah hal ideal yang harus dilakukan guru BP dalam memahami dan menemukan minat-bakat siswa. Guru BP tidak cukup hanya bicara di depan kelas. Kalau perlu guru BP datangi rumah siswa satu persatu, agar tahu bagaimana sesungguhnya kehidupan siswa sehari-hari. Intinya, keseharian hidup siswa kadang tak sejalan dengan minat dan bakat mereka.

Usai mendengar secara ringkas, Bu BP berkata, "Yang Eka tulis itu adalah hal yang ideal. Tapi sebenarnya yang penting adalah seorang siswa harus optimis. Jangan mengeluh dengan keadaan. Kalau Eka mau ambil jurusan Sastra atau Sos, silakan pilih, tapi pikirkan matang-matang. Ibu ingin kalian nanti di kelas dua duduk di jurusan yang sesuai minat dan bakat kalian."

Mendengar responnya aku justru menilai gak nyambung dengan poin yang kumaksud. Aku ingin guru BP pro aktif mengenali siswa. Itu intinya. Beliau mungkin agak tersentil karena selama ini beliau tak pernah melalukan seperti apa yang kutulis itu. Mudah-mudahan beliau gak baperan.

"Baiklah. Ibuk senang kamu pandai menulis. Tapi lain kali kalau mengkritik harus berdasarkan data. Jangan asal mengkritik."

"Iya, Buk," aku tak ingin mendebat. Aku sudah kebelet ngacir ke Lapau Mak Tuo. Menyulut sebatang Bentoel Biru. 

"Baiklah. Cukup ini saja. Silakan pulang," Bu BP melepasku dengan senyum. Entah tulus entah enggak. 

Sejak itu aku gak mau lagi menulis artikel yang menyangkut guru. Aku lebih banyak menulis berita, puisi, cerpen dan membuat vignet. 

Belakangan aku baru paham, sebenarnya Bu BP nggak tersinggung dengan kritikanku di artikel itu. Mungkin beliau hanya ingin memberikan arahan aja agar aku lebih berhati-hati kalau menulis. 

Gara-gara menulis di koran, aku juga pernah dipanggil pihak sekolah SPG (Sekolah Pendidikan Guru). Waktu itu, kelas dua SMA, aku membuat liputan tentang sekolah calon guru itu.  

Hari itu Rabu pagi aku sengaja absen masuk kelas. Aku datang ke SPG, diantar Andi, temanku yang sekolah di situ. Teman ini adalah pembaca KMS juga, anak Sicincin, kami kenal waktu ada kegiatan diskusi penulis di SMA Cendana Panyalaian.  

Kami menemui kepala sekolahnya. Kepada beliau kuperkenalkan diri sebagai "Kerabat KMS" istilah kami untuk kontributor KMS waktu itu. Sambil menyodorkan  tabloid KMS, aku menyampaikan hendak menulis liputan tengang sekolah itu.  Sebelum pak kepsek bertanya, aku pintas lebih dahulu.

"Saya ingin meliput prestasi sekolah kita ini. Karena ini satu-satunya sekolah calon guru. Bisa ya, Pak, ya?"

Pak kepsek menatapku. Sekilas  pandangan sang kepsek seperti menyelidik, seolah meragukan kapasitasku. 'Beneran nih bocah ini bisa menulis liputan?' 😃🤣

Namun akhirnya setelah membolak balik KMS, yang isinya 100 persen ditulis oleh pelajar berbagai sekolah di Sumbar dan Jambi, Pak kepsek bersedia diwawancarai.

Lalu berbekal sebuah notes bulukan dan pena pilot aku mencatat obrolan dengan bapak itu. Beliau juga memberikan dua lembar foto dimana beliau berpose disamping deretan trhopy dan piagam.

Seingatku tak sampai setengah jam wawancara selesai. Malamnya liputannya sudah jadi, dan esoknya kuantar ke Garuda Photo di Jalan M Yamin. Nanti mobil koran akan membawanya ke Veteran 17 di Padang. 

Selasa depannya liputan itu dimuat. Aku senang. 

Masalahnya, aku tak terlalu rapi mengoleksi koran, termasuk koran yang ada tulisanku tentang SPG Itu. Usai kubaca di Garuda, aku gak membawanya pulang. Dua minggu kemudian Andi menemuiku. Ia mengatakan pak kepsek minta koran yang memuat liputanku. 
Waduuhh..... 

Lama juga nyari-nyari korannya. Dan karena aku suka menyepelekan, koran itu gak kutemukan. Aku juga malas mencari atau minta ke redaksi agar dikirim lagi. 
Padahal, kalau koran itu ada dan bisa kuantar langsung pada pak kepsek, siapa tau beliau mengajakku makan-makan di Gumarang. 

Apes deh!

“Lebih baik melewati batas dan menanggung akibatnya daripada hanya menatap garis sepanjang sisa hidup Anda." - Paulo Coelho

Posting Komentar

0Komentar

Bagaimana kisah Anda?

Bagaimana kisah Anda?

Posting Komentar (0)

Portal StatistikEditor : Oce E Satria

Artikel diterbitkan oleh NostaBlog . Semoga artikel ini bermanfaat. Silakan bagikan ke media sosial Anda atau mengutip dengan menyertakan link artikel ini sebagai sumbernya. Terimaksih sudah membaca. Simak artikel-artikel menarik lainnya

To Top