Kenangan Masa Kecil (33): Romantisme Rental Komik TB Harmonis

0




Ciloteh/ Oce E Satria

 ðŸ‘£

RENTAL komik ini lebih mirip gudang bawah tanah. Berdebu dan kusam. Nyaris gelap. Hanya ada dua lampu neon kecil dengan cahaya yang hampir-hampir sakaratul maut. Di langit-langit penuh bergelantungan manusia-manusia dari bermacam suku dan pulau.Di dalamnya sangat suram dan menyeramkan, manusia-manusia aneh dengan pedang terhunus dan tengkorak-tengkorak hidup di mana-mana. Di dinding kelabu sebelah barat, monyet-monyet buruk rupa penghuni gua-gua dan pohon raksasa di jantung rimba tanah Pasundan berjejer menakutkan dengan taring-taring berlumur darah. 

Di sepanjang lorong sebelah kanan gadis-gadis berpakaian seadanya menyorotkan pandangan mesum mereka. Senyum mereka terasa tak mengenakkan, seperti diintimidasi penderitaan lama yang tak tertahankan.

Semuanya menjadi jendela ribuan aksara berjilid-jilid.Pencahayaan yang minim, ditambah majalah-majalah, dari komik Denny Manusia Ikan sampai majalah komik luar negeri yang bergelantungan, persis daging-daging yang bergelantungan di los daging pasar Padangpanjang di bulan haji. Muram menunggu pembeli. Di depan, papan nama dengan tulisan buram menggantung tanpa pernah disentuh kemoceng: Taman Bacaan Harmonis.

Rental komik TB Harmonis ini lebih tepat disebut rumah berhantu. Atau lebih tepatnya, ruang penuh rak dan buku ini disebut gudang, kalau saja tak berpengunjung. Penerangannya seadanya. Anehnya tiap hari rental komik ini selalu penuh. Tak salah kalau temanku sering menyebut ini adalah rumah hantu yang menyenangkan. Tempat strategis untuk lari dari jam sekolah atau dari omelan istri yang membosankan di rumah. Bunker persembunyian orang -orang kota.

"Tapi TB Harmonis juga kampus dari segala ilmu," katanya memberi stempel. Dialah yang pertama kali mengenalkan aku dengan rental komik ini. Di sini aku melahap novel-novel Eddy D Iskandar, Mira W, Ali Topan Anak Jalanan-nya Teguh Esha, Motinggo Busye, Abdullah Harahap hingga Nick Carter.

Menjelang zuhur TB Harmonis mulai ramai. Orang keluar masuk meminjam atau mengembalikan komik dan novel yang disewa seminggu lalu. Deretan lima bangku di dalamnya seperti bangku- bangku di depan loket rumah sakit, nyaris penuh. Sempit dan berdesakan.

Di bangku paling sudut seorang pria 40an berseragam Korpri mengurung wajahnya dengan majalah kumpulan cerita pendek. Ia mungkin baru saja menggerutu di kantor, muak dengan atasannya yang selalu menganggapnya tak becus, maka di rental ini ia menumpahkan kesalnya dengan melahap cerpen-cerpen remaja. Ia sekadar mengenang masa-masa remajanya di mana dulu ia selalu jadi idola para cewek di sekolahnya. 

Posisi paling pojok adalah indikasi betapa status keamanannya sangat berbahaya, paling tidak dari intaian mata istri dan kolega sekantor. Mereka adalah pihak yang harus diwaspadainya. Itu adalah posisi teraman.

Di bagian tengah berderet-deret pembaca berseragam putih abu-abu dan putih biru 
dongker. Jelas mereka belum menuntaskan jam pelajaran, dan kini kabur ke sini. Posisi terbuka yang mereka ambil menunjukkan bahwa mereka tak kenal rasa takut pada siapapun. Komik adalah bacaan favorit mereka.Di bangku sebelah dalam yang agak tersembunyi dari etalase, bercampur-baur pelajar SD dan tiga lelaki yang kutaksir usianya sudah tergolong kakek-kakek. Jika anak-anak SD melahap komik-komik Petruk & Gareng, para kakek itu adalah penikmat setia Kho Ping Ho. Biasalah, orangtua pensiunan memang suka hal-hal yang berbau filsafat, sementara anak SD senang terpingkal-pingkal. 

Rental komik itu berlokasi di sebuah petak pada deretan toko emas di tengah pasar Padangpanjang. Ini rental komik favorit dan paling terkenal di Kota Hujan ini. Tempat paling nyaman untuk lari dari jam sekolah atau kantor. Maklumlah, belum ada warnet, belum ada game online. Kalau mau mencari pelajar bolos atau PNS yang mangkir dari kantor, di sinilah tempatnya. Murah dan bisa berlama-lama.

Ke sinilah aku menyeret langkah sepulang sekolah atau pas cabut sekolah. Gara-gara terbius untuk menulis novel aku keranjingan membaca novel. Di sini gudangnya, ada ratusan judul novel yang bisa kubaca.

Da Man, pemilik sekaligus penjaga TB Harmonis tersenyum dengan gelengan kepala khasnya. 

"Cabut lagi, anak muda?" ia mengomel melihat aku datang lagi saat jam sekolah belum usai. 

Aku tak menghiraukan omelannya. Kutunjuk sebuah novel Abdullah Harahap di pojok dalam etalase. Ia segera meloloskan novel yang sudah lecek itu dari himpitan buku-buku lain, menyodorkannya padaku.

Ada bangku yang tersisa di pojok kanan ruko seluas lima kali empat meter itu. Persis di samping seorang gadis yang asyik dengan komik. Kulongok komik yang ia baca. Hmmm... komik karya Jair. 

Aku mendaratkan pantat di bangku, tanpa berbasa-basi pada gadis itu dan juga seorang lelaki 40 tahunan di deretan yang sama. 

Kulirik sekilas. Dan tak perlu berlama -lama untuk membuat kesimpulan: Ia manis. Wajahnya sempurna untuk membuat para lelaki merasa pantas menjadi sejoli dengannya. 

Mataku tak beralih, terus saja memperhatikannya.Berkaos putih bertuliskan DURAN DURAN dan celana jeans biru muda yang robek di sekitar lutut yang dikenakannya, membuat dia terlihat seperti salada diciprat air, disimpan dalam wadah plastik dan ditaruh di kulkas: segar nian. Seumpama itulah dia.

Usianya mungkin tak berselisih jauh denganku. Mungkin mahasiswi semester pertama. 

Ia melirikku dari balik komik yang dibacanya. "Kenapa?" ia melempar tanya dengan pandangan tak enak.

Aku tergagap. Lalu menyembunyikan wajahku di balik buku.

"Kenapa, apa?" aku balik tanya sambil pura-pura membaca.

"Melihatnya segitu banget? Ada yang aneh?" suaranya hampir tak terdengar tapi ketus.

Upsss, ternyata dari tadi aku terlalu ekspresif memperhatikannya. Mudah-mudahan ia tak menilai mukaku muka cabul.

"Kayak muka cabul..." ia menggerutu.

Mati aku!

"Ah, nggg...... , enggak, maaf nggak sengaja," jawabku tergagap..

Sampai bab terakhir Abdullah Harahap, aku tak melirik dia sedikitpun. Tapi pikiranku terganggu. 

BEBERAPA kali ke TB Harmonis aku kembali mendapatinya tengah asyik dengan komik. Ia selalu duduk di bangku yang sama. Dengan komik karya Jair, Ganes TH atau Jan Mintaraga. 

Kadang-kadang kami duduk di bangku yang sama. Kadang-kadang berjauhan. Tapi selalu ada masa di mana kami saling melirik diam-diam, diam-diam yang akhirnya ketahuan. Aku merespon dengan senyum jika ketahuan, sebaliknya dia memonyongkan bibirnya ketika kutangkap basah melirik ke arahku. Di hari  lain aku mendapatinya kembali asyik mojok dengan komik-komik silat.  Namun di atas pahanya terhenyak sebuah novel. Kulirik sekilas novel yang tak seberapa 
tebal itu. Hmmmm..., Bako. Aku langsung ingat pernah membaca resensinya di koran Haluan. Novel karya Darman Moenir, sastrawan Sumatera Barat. Biarpun tak paham apa yang dimaksud si peresensi, tapi intinya: novel itu bermutu tinggi. 

"Kamu suka baca novel juga ternyata," aku bergumam. 

"Bako itu novel bagus," kataku sok tahu. Dia tetap tak bereaksi.

"Pengarangnya, Darman Munir, favoritku," kutambahkan. 

Tapi masih tak ada tanggapan.

"Seleramu tinggi juga," kulepas pujian. Menunggu responnya.

Ia melirik dengan liukan mata yang meremehkan.  "Pernah baca?" Sudah kuduga, nadanya tak mengenakkan.

"Ya pernah dong. Bako itu tentang hubungan kekerabatan di ranah Minang, seorang anak dengan keluarga kakak atau adik dari ayah," jawabku sok yakin. Aku tak bersedia lagi diremehkan.

"Itu mah definisi bako, bukan novel bako. Halaaah..nyontek pelajaran sosiologi......"

Aku garuk-garuk kepala, malu ketahuan asal jawab. Sudah sok memuji Darman Munir, berlagak paham pula isi novelnya. Aku seperti kucing kepergok di tudung saji, meringkuk malu dan menggulung ekor. 

Gadis itu kembali ke komiknya. Aku tak berani berlagak lagi.

Belakangan aku tahu, ia seorang mahasiswi. Aku sempat melihat sekilas waktu di TB Harmonis, ada tulisan ASKI Padangpanjang di bukunya. Tapi berkali-kali sepulang sekolah aku sengaja lewat di depan kampusnya, tak pernah kulihat gadis itu lewat gerbang kampus. Padahal, apa susahnya bertanya, "Kuliah di mana?" Tapi itu tak kulakukan. Tetap saja seperti detektif norak dengan masih coba memastikan apakah ia kuliah di ASKI atau bukan. 

Aku hampir putus asa sampai suatu siang melihat gadis pembaca komik silat itu keluar dari gerbang kampus bersama teman-temannya dengan setumpuk buku dalam pelukan dan tas ransel coklat di punggungnya. 

Kampusnya ada di seberang lapangan Kantin, lapangan sepak bola terbesar satu-satunya di kota kami. Aku yang agak gugup coba melempar senyum semanis mungkin. Sialnya, respon baliknya sangat tak sedap. Ia mendelik.

"Apa liat-liat?"  Persis ketusan preman terminal yang pantang ditatap.

Tapi kali kedua berjumpa di mulut jalan yang sama dan aku masih menghadiahkan senyum, ia melempar tuduhan. "Kamu ngintilin aku, ya?"

Aku tergagap dan mencoba menguasai diri. 

"Ah, enggak kok. Kebetulan saja lewat sini," jawabku berkelit.

"Kebetulan kok sering?"

"Oh ya? Terimakasih deh, ternyata kamu selalu memperhatikanku," jawabku tersenyum.

"Huuuuu kege-eran, sorryy lah yawww...! Norak tauk!"

"Bukan ge-er, tapi merasa spesial aja...."

"Bukan spesial tapi aneh. Ini kampus, tak ada SMA dekat sini, kecuali SD dan TK. Kamu dengan seragam putih abu-abu itu? Jelas aneh, Dinda."

"Dindaaa.....?? Kamu lebih tuaan?" ketusku.

Dia mengarahkan wajahnya padaku dan membesarkan rongga matanya. "Emangnya kita seletingan, hai anak SMA yang doyan ke rental komik?"

Busyet! 

"Memang tidak, tapi adik leting bisa juga lebih tua- an."
 
"Boleh jadi! Kamu keseringan tinggal kelas sih. Tua kok bangga....." Ia tertawa, teman-temannya cekikikan. Skak mat! Mampus aku!

Kepada temanku kuceritakan tentang gadis pembaca komik silat itu. Menurutku aneh dan tak biasa ada cewek nongkrong di tempat penyewaan komik. Apalagi yang dibaca komik-komik karya Jair dan sejenisnya, menurutku itu suatu ketidaklaziman. Kalau membaca komik Jepang mungkin masih masuk akal, atau setidak-tidaknya baca novel-novel Mira W, karena ia seorang mahasiswi, dan bukan di TB Harmonis.

"Berarti Jair-nya atau TB Harmonis-nya yang hebat," simpul temanku.

"Lho, kok?"

"Kalau tak hebat mana mungkin cewekmu itu ketagihan..."

"Bukan cewekku, cewek itu."

"Kamu belum pernah liat cewek merokok, kan? Seperti itulah. Kita pikir merokok itu maskulin, tapi ternyata cewek ada juga yang merokok. Itu yang hebat peracik dan nikotinnya. Seperti Porkas dan judi buntut, bikin nagih. Nggak ada yang perlu kamu herankan."

Percuma saja menceritakan soal cewek itu pada si pencandu judi Porkas dan undian nomor togel Singapura itu. Kupikir tadi ia akan ikut heran.  
 
Berkali-kali jumpa dengan gadis pembaca komik itu, lama-lama membuat aku ketagihan ke TB Harmonis. Gadis yang belum kutahu namanya itu mungkin mengandung nikotin di tubuhnya. Aku mengisapnya tanpa sadar. Dan kini aku seperti didera candu: rindu bertemu. 


"Hal-hal besar tidak pernah datang dari zona nyaman." Anonim

Posting Komentar

0Komentar

Bagaimana kisah Anda?

Bagaimana kisah Anda?

Posting Komentar (0)

Portal StatistikEditor : Oce E Satria

Artikel diterbitkan oleh NostaBlog . Semoga artikel ini bermanfaat. Silakan bagikan ke media sosial Anda atau mengutip dengan menyertakan link artikel ini sebagai sumbernya. Terimaksih sudah membaca. Simak artikel-artikel menarik lainnya

To Top