Ciloteh/ Oce E Satria
👣
Pagi, pukul 10.00 WIB. Sudah terlambat, aku jalan kaki saja dari pusat kota ke Guguk Malintang, lokasi sekolahku, SMAN Padang Panjang. Menyusuri trotoar di bawah terpaan panas bulan November. Sudah seminggu tak hujan.
Sebenarnya bisa naik angkot. Tapi aku berhitung, duit 50 perak bisa buat segelas teh, atau setidak-tidaknya sebatang Bentoel Biru, nanti di Lapau Mak Tuo, kedai kopi legendaris anak-anak cowok SMAN Padang Panjang.
Waktu itu tahun-tahun 88-91 aku hanya dibekali 500 rupiah. Jumlah yang terbilang marginal untuk seorang pelajar SMA, waktu itu. 300 dari total itu adalah buat ongkos oplet pergi-pulang (PP). Kadang bisa gratis naik NPM Padang-Bukittingi saat pulang.
Sisanya 200 adalah buat jajan. Kalau sekarang 200 itu mungkin nilainya 8 ribu, kalau harga secangkir teh manis harganya 2 ribu. Zaman aku SMA, secangkir teh di Lapau Mak Tuo bertarif 50 perak, kopi 75, susu putih 100, teh susu 150, dan kopi susu 200. Cangkirnya kecil saja, besaran dikit dari sloki. Tapi meski kecil, itu cukup buat menemani nongkrong di lapau, sembari menghisap sebatang dua batang rokok.
Oh, ya, harus kuceritakan juga tentang Lapau Mak Tuo ini. Ini adalah satu dari beberapa kedai kopi tempat nongkrong anak-anak SMAN Padang Panjang, khususnya kaum Adam. Letaknya di pojok belakang gedung lama, di bawah naungan pohon-pohon yang cukup besar. Lapau ini menyatu dengan rumah induk, atau bagian ruang dapur berbentuk leter L yang disulap jadi sebuah kedai kopi. Ada dua meja besar di satu sisi, dan meja kecil panjang di sisi lain. Kalau jam-jam kosong, biasanya di meja itu jadi meja domino atau arena catur. Kalau main koa alias ceki, ada lagi tempat rahasianya, di sebuah rumah kayu tua dan kosong, sekitar 20an meter dari Lapau Mak Tuo.
Lapau Mak Tuo, pemiliknya memang seorang perempuan tua yang usianya sekitar 60an dan kami panggil Mak Tuo. Manejer lapau adalah anak perempuan beliau sendiri. Kami memanggilnya Ni Ena, kikira berusia 30-35an tahun. Manis. Dengan rambut retro ala Marilyn Monroe, bergelombang vintage di belakang di atas tengkuk. Ni Ena ini ramahnya menurutku tiada banding. Belum pernah kulihat bibirnya manyun, atau matanya mendelik marah.
Di situlah kami menghabiskan sebagian dari memori masa sekolah dulu. Lengkap dengan aneka cerita khas anak-anak sekolah, dari yang badung sampai yang rajin. Dari yang berambut jabrik sampai yang belah pinggir.
Bayangkan, nongkrong sambil merokok, tanpa hape macam zaman sekarang. Kami gak boring alias bete. Buktinya kami asyik saja, kadang ngendon berlama-lama di sana.
Di sini juga jadi semacam tempat penitipan buku hingga pakaian. Dan yang lebih berkesan adalah, Lapau Mak Tuo jadi tempat brifieng soal-soal ujian jelang masuk kelas ujian semester, tempat membuat jimat, atau lokasi saling bertukar informasi jawaban ujian.
Di sini, semua persoalan persekolahan diselesaikan. Urusan Osis kadang-kadang juga dibiacarakan di sini, sambil ngopi. Persis para politikus yang bicara partai di kafe. Selain itu juga mengebut PR yang lupa dikerjakan atau sekalian menyalin PR teman, menulis surat cinta, sampai urusan melunasi SPP yang yang kami selewengkan, diselesaikan dari dompet Ni Ena.
Ni Ena, perempuan 35 tahunan itu kulihat hampir tak pernah memperlihatkan wajah
masam, meski mayoritas pengunjung warungnya siswa laki-laki dan tingkahnya aneh-aneh, dari yang pendiam sampai yang badung, dari yang bayar kontan sampai yang doyan ngutang.
Ni Ena selalu tersenyum. Senyum yang membuatnya makin terlihat cantik.
"Ni Ena, aku kopi sama lontong, pakai mie tadi. Berapa?" salah seorang pengunjung rutin mendekatinya
"Duaratus limapuluh."
"Catat dulu yaaaaa."
Begitu saja. Ni Ena mengangguk. Tak sekadar mengangguk, tapi juga masih dibonus dengan selarik senyum.
Lain waktu, salah seorang temanku, penggemar berat Jacky Chan menyandarkan nasib sialnya pada Ni Ena akibat menggelapkan SPP yang sudah diberikan orangtuanya.
"Ni Ena, sori nih SPP kepakai. Aku mau ambil nomor ujian nih," Dia merajuk seminggu sebelum ujian semester.
Peraturan menegaskan, kartu peserta ujian tidak diberikan sebelum melunasi SPP.
"Kepakai lagi? Pasti dihabisin buat nonton lagi..."
"Hehehe....iya. Aku pinjam duit Ni Ena, yaaa..."
Begitu saja. Dan sejurus kemudian Ni Ena melepas tas dari gantungan di dinding.
Meloloskan beberapa lembar ribuan, lantas menyodorkannya pada si fans berat Jacky Chan itu. Transaksi utang-piutang itu tidak pakai akad, apalagi materai. Tak juga ada pertanyaan dari Ni Ena, 'Kapan dibalikin?'
Gerakan tubuhnya seperti biasa, tak menunjukkan kejengkelan atau misalnya berpura-pura sibuk mengambil sesuatu untuk mengirim isyarat penolakan. Bahasa tubuhnya adalah bahasa cinta.
Lapau Mak Tuo khusus cowok? Enggak juga, sesekali ada juga anak cewek (tentu saja dengan genk mereka) nangkring di sana. Pesan teh es manis, atau mie, lalu bergosip soal-soal gacoan alias gebetan. Itu sih taksiran aku aja, karena aku juga ga pernah menyimak obrolan mereka.
Tak hanya buat nongkrong melenyapkan suntuk, sisi lain dari Lapau Mak Tuo adalah tempat kami memoles diri agar rapi. Tepatnya merapikan diri saat ada musim razia. Razia rambut misalnya.
Nah, di sisi belakang Lapau Mak Tuo ada halaman cukup lega. Di situlah biasanya berlangsung potong rambut massal. Ya, kalau dirasa bakal ada musim razia rambut, kami serta merta akan melakukan pemangkasan.
Tapi jangan salah kira, cukur rambut era kami nggak asal-asalan. Ada spesialis tukang cukur profesional, teman kami sendiri. Dia seorang dengan kepribadian super baik. Tak pernah menolak kalau dimintai tolong. Dia menguasai model-model yang lagi in atau bahkan yang sudah out of date. Dengan kemahirannya memangkas rambut, puluhan pria akan tampil lebih fresh dan rapih. Bayarnya? Cukup dengan sebatang dua rokok. Aku gak tau ada atau nggak teman yang bayar pakai duit. Bahkan setahuku dia juga ikhlas gak terima apa-apa setelah mengerjakan "tugas"nya sepenuh hati. (Tengkyu, Bro, pernah membuatku agak gantengan waktu itu. 😀)
Usai pangkas rambut, tentulah pesan segelas kopi. Dan menyulut sebatang udut, melupakan sejenak neraca lajur, tangen kotangen, atau rumus-rumus rumit fisika.
Meski banyak siswa-siswa badung nangkring di Lapau Mak Tuo, tapi kelak kemudian hari rerata mereka jadi orang sukses di bidangnya masing-masing. Aku mengingat dari mereka, baik sesama letingku atau seniorku yang sekarang jadi pejabat, pengusaha sukses dan sebagainya, dulunya termasuk langganan Lapau Mak Tuo. Kupikir zaman dulu badungnya anak sekolahan masih dalam tataran wajar. Gak ada sih yang narkoba. Apalagi lingkungan budaya Padang Panjang yang kental Islam dan adatnya cukup menjadi frame remaja di zaman itu. Ditambah lagi kota kecil ini adalah kota dengan kehidupan sosial yang hangat dan akrab satu sama lain.
Meski terkesan kota “sambil lalu”, yaitu kota yang hanya dilewati atau terlihat sebentar sambil jalan di jalur lintasan Trans-Sumatera, Padang Panjang jangan dianggap “angin lalu”. Kehidupan sosio kultural masyarakatnya yang dibalut ketat religiusitas Islam membuat warganya sejak dulu hingga kini lahir sebagai manusia-manusia dengan keramahan yang patut dibannggakan. Begitu pun kegemaran warganya duduk di lapau berdiskusi soal apa pun, telah melahirkan banyak orang cerdas dari kota kecil ini.
Dan salah satu tempat mengasah kehidupan sosio kultural itu, menurutku sih, adalah Lapau Mak Tuo. Mungkin.
Semuanya berlangsung di kawasan pojok sekolah, sebuah kedai kopi yang hangat. Hari-hari yang akan selalu diingat. Thanks Mak Tuo & Ni Ena.
☕
"Jangan membandingkan diri Anda dengan orang lain. Bandingkan diri Anda dengan pribadi yang kemarin.” – Anonim
Bagaimana kisah Anda?
Bagaimana kisah Anda?