Kenangan Masa Kecil (31): Tribute to Pak Datuak Husin

0

Ciloteh/ Oce E Satria


👣
DI sekolah mana pun dan bagi siapa pun, pasti selalu ada ingatan tentang seorang guru yang sangat berkesan dan menjadi cerita indah sesama alumni. Aku juga punya guru yang menurutku paling fenomenal dan jadi kenangan indah bagi mantan murid-muridnya di sekolahku dulu, SMAN Padang Panjang.
Kami memanggilnya Pak Datuak Husin. Nama lengkap beliau adalah Muhammad Rusin Dt Majo Basa SH. Beliau seorang guru yang bergelar Sarjana Hukum, dan menurutnya, dia pernah (atau waktu itu masih?) berpraktik sebagai pengacara.
Seingatku tingginya tak lebih dari 165. Berbadan gemuk, tapi tidak gendut. Perawakannya tegap alias badagok. Sebadagok cara beliau bicara. Usianya adalah usia MPP (masa persiapan pensiun). Suaranya parau dan bergetar, berwibawa. Suara itu sebenarnya cukup membuat nyali siswa yang mendengar menjadi ciut. Ditambah lagi wajahnya yang sedikit sangar, kulit coklat tua dan berminyak. Jidatnya agak lebar dengan rambut tipis ikal. Belum lagi kumisnya yang tidak lebat tapi juga tidak jarang. Giginya rapat dan putih. Tapi senyumnya manis. Sangar tapi manis. Kacau kan ya?😀
Begitulah profil Pak Datuak Husin yang sekira-kira seperti itu membuatnya sangat disegani sekaligus disenangi. Disegani karena beliau tegas, disenangi karena beliau suka melucu, akrab dengan siswa-siswa badung sekali pun. Pokoknya beliau tipikal guru yang spiler alias ce es.
Jabatan resminya adalah Wakil Kepala Sekolah bidang Kesiswaan (kalau gak salah). Sesekali beliau masuk kelas yang gurunya kosong. Nah, kalau beliau sudah masuk kelas dan berciloteh, yang jadi materi bukan mata pelajaran. Tapi biasanya beliau memberikan motivasi. Beliau akan bercerita hilir mudik. Bahasanya sekerat ular sekerat belut, alias Bahasa Indonesia campur Minang.
Suatu kali beliau masuk kelasku. Walaupun beliau terkenal sangar, tapi kami gak takut. Kami justru senang karena pasti bakal ngakak guling-guling mendengar cilotehnya yang rada-rada gokil. Dari hal-hal yang ilmiah sampai soal remeh temeh.
Kali ini beliau bicara tentang Ilmu-ilmu Sosial versus Ilmu Eksakta.
"Ciek godok tambah ciek godok bara dikau?" Beliau mengajukan pertanyaan receh pada salah seorang siswi, namanya Nel.
"Duo godok, Pak!" jawab Nel percaya diri.
Namun, ternyata jawaban tersebut disalahkan Pak Datuk Husin. Padahal secara matematis itu adalah jawaban aksioma, alias tak bisa dibantah lagi.
"Ndak itu jawoknyo doh," tukas beliau cepat. "Ciek godok tambah ciek godok sama dengan CIEK GODOK GADANG."
Jawaban itu kontan saja membuat kami terbahak-bahak. Apalagi pikiran kami waktu itu mendengar kata "GODOK GADANG" sudah mengarah saja pada hal-hal yang berkonotasi ngeres.
Tapi bukan itu poin beliau. Pak Datuk Husin sebenarnya sedang menjelaskan keunggulan cara berpikir orang-orang ilmu sosial yang harus kami pahami. Ia menjelaskan bahwa orang ilmu sosial tidak boleh memahami sebuah fakta sebagai sebuah kepastian atau eksak. Orang ilmu sosial adalah orang-orang yang berpikir kemungkinan. A adalah non A, seperti kata Tan Malaka dalam buku Madilog.
Lalu beliau membuat perbandingan antara sarjana hukum dengan sarjana peternakan. Sederhana saja (meski sebenarnya ga sesimpel itu). Begini kata beliau:
"Kalau mahasiswa perternakan maresek-resek jawi, haa lah dapek gelar sarjana peternakan. Kalau kami urang hukum indak. Kami harus tunggang tunggik membahas, meneliti manusia jo surek manyurek.....dst...dst." 🤣
Begitulah cara beliau memotivasi kami anak-anak jurusan Sosial (IPS) supaya bangga dengan jurusan sendiri.Cespleng dan simpel. Beliau bangga sebagai seorang sarjana hukum. Untung saja tak ada anak Bio yang menguping kelas kami waktu itu.😀🤣 (Aku tak tahu, di kelas anak Bio dan Fisika, apa pula yang dikatakannya tentang keunggulan jurusan eksak).
Beliau juga menasehati kami agar jangan kecanduan nonton film bioskop. Karena selain bisamenghabiskan uang SPP, nonton film bagi anak sekolah belum waktunya, kata beliau.
"Kalau acok nonton pilem urang gadang, kalian bisa buntiang. Sudah tu pacar kalian tabang ambua. Sikola baranti, ayah mande kalian kecewa. Lai jaleh tu?" pesan beliau, lagi-lagi murid cewek yang duduk di depan jadi sasaran tausiyah beliau. 🤣🤣
Memang bioskop adalah salah satu problem yang sering dipersoalkan orangtua dan guru.
Di kota kami yang kecil itu ada dua bioskop. Dua-duanya sangat terkenal. Letaknya juga berdekatan. Berada di sentra Kota Padang Panjang.
Yang pertama adalah Bioskop Karia di Jalan Anas Karim No.04, Padang Panjang. Dulu bana bioskop ini bernama Cinema Padangpajang. Lalu satu lagi adalah Bioskop Djaja. Posisi keduanya persis di tikungan jalan raya Padang Bukittinggi.
Konon Bioskop Karia didirikan pada tahun 1931. Didesain dengan desain eksterior bergaya art deco, desain bangunan favorit di era Perang Dunia I. Bioskop ini mampu menampung 700 orang.
Dari referensi yang pernah kubaca, Bioskop Karia ini dihidupkan kembali oleh Wariko Angriawan, seorang pengusaha yang tinggal di Kota Padang. Menurut cerita orang, bioskop ini dulunya dibangun oleh kakeknya, yang merupakan salah satu pemilik tambang batu kapur di Bukit Tui.
Sementara Bioskop Djaja lebih muda usianya. Dibangun tahun 1962. Kini bekas bangunan Bioskop Djaja telah menjadi Bank Nagari (Bank Pembangunan Daerah) Sumatera Barat Cabang Padang Panjang. Entahlah, aku lupa.
Bagi sebagian besar masyarakat Padang Panjang dan Batipuh X Koto, terutama bagi generasi 70, 80, 90an Bioskop Djaja dan Karia adalah bangunan penuh kenangan. Tiap sore selalu disempatkan mampir ke sana melihat ilustrasi film yang dilukis dengan kapur tulis warna di papan tulis hitam.
Pak Datuak Husin sering mengingatkan kami agar jangan dulu tergoda ke bioskop. Belajar saja yang baik, rajin beribadah. Supaya kelak bisa jadi sarjana (hukum)😀.
Oh, ya pernah suatu kali beliau marah besar mendapati kami asyik main bola di lapangan voley belakang sekolah saat jam pelajaran. Kami main karena gak ada guru. Eh, beliau masuk dan marah melihat kelas kosong dan hanya tersisa murid perempuan.
Di lapangan anak-anak asyik main "Ciek Piah Cup", itu adalah futsal jadul cara kami, taruhannya masing-masing ciek piah alias 100 rupiah.
Tiba-tiba saja beliau berlari di teras kelas, berhenti di ujung gedung, melihat ke lapangan di bawah sana. Para murid badung asyik bertarung. Ada yang buka baju, celana digulung. Mandi keringat.
"Wooiiii.....kalian ko iyo bananyoo....!" teriak beliau.
Kontan anak-anak lintang pukang lari menyelamatkan diri agar tak dikenali. Masuk dan sembunyi di semak-semak.
"Ndak paralu kalian mandok! Aden tau jo kaliaaaaan....!!!" suara paraunya menggelegar.
Tiba-tiba salah seorang teman nyeletuk dengan teriakan sambil ngakak dari balik semak:
"Kami tau looo jo Apaaaak...."
Dicengin murid badungnya, Pak Datuak menggerutu, "Mariangiikk kaliaaan.....awaaaaasss..."
Beliau balik kanan dengan jengkel.
Begitulah. Hari-hari kami dengan bapak guru satu itu. Guru yang selalu minta kami jadi orang jujur. Trims Pak. Bapak orang baik.
Maapin kami ya, Pak. We Do Love You....❤

☕

"Memaafkan belum tentu membuat kita lebih baik atau bahkan merasa lebih baik, tetapi yang jelas membuka jalan kebaikan."- Eleanor Roosevelt


Posting Komentar

0Komentar

Bagaimana kisah Anda?

Bagaimana kisah Anda?

Posting Komentar (0)

Portal StatistikEditor : Oce E Satria

Artikel diterbitkan oleh NostaBlog . Semoga artikel ini bermanfaat. Silakan bagikan ke media sosial Anda atau mengutip dengan menyertakan link artikel ini sebagai sumbernya. Terimaksih sudah membaca. Simak artikel-artikel menarik lainnya

To Top