Kenangan Masa Kecil (30): In Memoriam Datuak Dalu

0

 

Ciloteh/ Oce E Satria

👣
Salah satu pengalaman masa anak-anak dan remaja yang masih kuingat adalah pengalaman menonton penjual obat keliling. Salah satu penjual obat lejen tahun-tahun 80-90an adalah Mak Datuak Dalu.

Suatu siang aku menyaksikannya di Padang Panjang.

Sebuah koper coklat seukuran bantal adalah rahasia yang ditunggu hadirin dengan berdebar-debar. Koper itu berdiri tegak di tengah terpal biru seukuran satu kali satu meter. Di atas terpal itu juga tergeletak sebuah kaleng bekas rokok, itu juga rahasia dari pertunjukan siang ini. Pemilik pertunjukan itu adalah Datuk Dalu yang lebih suka dipanggil dengan nama kerennya: Uncle DD.

Aku mencari posisi yang strategis untuk menikmati pertunjukan di Jumat siang yang panas di depan stanplat Kantin Padangpanjang. Pulang sekolah.

Ia seorang pria berusia 70an tahun. Posturnya sedang, tegap. Kulitnya gelap dan sering memakai kacamata gelap. Sekilas ia mirip Bung Karno. Namun Datuak Dalu lebih suka memirip-miripkan dirinya dengan Umar Wirahadikusumah, mantan Wakil Presiden. Ia hanya memakai kaos oblong, celana cargo pendek warna coklat dan kepalanya dibungkus baret berwarna hitam. Mirip tentara Amerika veteran perang Vietnam.

Selain menjual obat keliling, Datuak Dalu juga sesekali menjadi pemandu turis yang datang ke Bukittinggi. Ia memang mahir berbahasa Inggris dan sedikit bahasa asing lainnya.

Panggung yang hanya berupa selembar terpal selebar sajadah di atas aspal itu dirubungi puluhan orang. Tua muda, laki dan perempuan, pegawai Pemda, anak sekolahan, ibu-ibu rumahtangga yang kembali membeli pembalut tapi kepincut ingin melihat aksi Datuak Dalu. Ada juga jamaah bubaran Jumat, sampai para pensiunan yang barusan mengambil uang pensiunan di kantor pos, semuanya berkerumun untuk menyaksikan Datuak Dalu beraksi. Dialah pedagang obat keliling paling legendaris. Ia tipikal lelaki yang angkuh, suka sesumbar dan melecehkan audiens, namun kharisma dan auranya memancar masuk ke relung-relung hati kami.

Ia pria yang humble, seorang entertainer sebenar-benarnya. Hampir setiap kali menggelar lapaknya, selalu dibanjiri penonton, sekaligus calon pembeli obat yang ia jual. Sayang obatnya tak selalu banyak yang beli.

Namun sebelum mengeluarkan dan menawarkan obat, Datuak Dalu berpidato panjang lebar dengan sebuah mikrofon tanpa kabel. Mungkin lebih tepat bercerita. Ia mahir membius penonton dengan aneka cerita yang menarik, lucu dan selalu membuat penonton terpingkal-pingkal.

Boleh dikata dialah pelopor stand up comedy di tanah air. Ia punya segudang cerita, dari soal-soal remeh temeh sampai isu politik terkini mampu ia ramu menjadi cerita lucu. Punchline-nya selalu mengena.
Yang menarik, di sela-sela bercerita itu, ia sesekali memaki-memaki dan mengatai-ngatai salah seorang penonton, dan itu membuat orang-orang sakit perut menahan tawa. Kalu anak-anak stand up masa kini mungkin menyebutnya teknik roasting.

“Kalau engku-engku, amai-amai malas berolahraga, akibatnya berbagai-bagai penyakit memanjat badan kita sesuka hati. darah tinggi, kencing manis, tulang keropos. Karena apa? Karena malas. Macam amai satu ini,” ia menuding salah seorang penonton, seorang wanita 45 tahun berbadan tambun.

“Badan tak ubah serupa gajah, bergerak ogah, bunting tiap sebentar, hah, Itu sajalah kerja menggilai anak. Lupa mengurus diri sendiri,” omel Datuak Dalu seenaknya. Namun yang diomeli gak marah.

Si wanita tambun malah cengengesan, ia tak tersinggung dikatai-katai. Justru ia makin merangsek maju, seolah ingin terus dihujat pria tua tinggi besar itu.

“Tak malu amai? Apa tak punya banak amai? Makanya perbanyak bertanya ke bidan, perbanyak membaca majalah-majalah amai-amai. Paham?”

Wanita itu menyahut, “Paham Mak Datuk!”

“Mau saya tunjukkan caranya menguruskan badan?”

“Mau benar, Mak Datuk!”

Uncle DD menyeruput kopi, lantas mengambil sesuatu dari kaleng rokok tadi. Sementara penonton makin berjubel.

“Ini obat adalah datang dari luar negeri. Teman saya seorang mualaf dari Inggris yang membawanya. Namanya ATOM yang artinya Allah Tolong Orang Muslim....," ia mulai menjelaskan galehnya.

Penonton makin tertarik. Ota dan gadele Datuak Dalu semakin dahsyat. Ia juga membeberkan secara ilmiah dengan menyelipkam satu dua istilah asing.

"Engku-engku, amai-amai dan siapa saja yang pernah punya keluhan dengan berat badan yang berakibat pada encok, susah buang air besar dan badan merasa tak enak. Inilah rahasianya, inilah kunci dari semua permasa-alahan engku-engku dan amai-amai sekalian. Ini obat, engku cari di mana toko, amai cari di mana apotik, tak akan bersua. Khasiatnya? Tak ada jawabannya selain mencobanya," suaranya bertenaga dan berwibawa.

Aku dan hadirin ternganga-nganga. Aku berusaha menyelingkit mencari posisi di depan, agar lebih leluasa menonton pertunjukan ular yang dijanjikan.

Datuak Dalu masih berciloteh.
"Kapialu kapiasok, mendingin mendemam, encok kata rang awak rematik kata doktor. Berakit-rakit kita ke hulu, berenang-renang ke tepian. Yang pahit minum dahulu, haaa....bertelur ayam kemudian. Sepuluh ribu saja sebungkus! Belilah Pak belilah Buk tak ada cerita. sebelum permainan ular saya mulai, saya siapkan lima belas bungkus saja. Ayo!”

Datuak Dalu dalam presentasinya pintar mengocok perut penonton. Cara dia menjelaskan penyakit juga asyik.

"Puuut bunyi kantuik, ceeeer kecek biadi, isi paruik menyemprot sampai tigo meter”.(maksudnya, puuut bunyi kentut, ceeeer kata cacing biadi, isi perut menyemprot sampai tiga meter).

Petunjuk cara memakan obat juga dijelaskan Datuak Dalu. Katanya, “Sabalun makan ubek ko, bagi angku-angku nan ba agamo Islam, baco Bismillah. Bagi angku nan ba agamo Kristen buek tando salib. Bagi angku-angku nan indak ba agamo tasarah angku-angku se lah, ka ba-rock and roll atau ka badisko, ka malompek-lompek atau ka baguliang-guliang.”

Belakangan aku tahu obat yang dijual Datuak Dalu sebenarnya adalah broklak, obat pencahar yang bisa didapatkan di apotik dan toko obat. Tapi oleh mister itu broklak ia branding sendiri menjadi ATOM. Tak ada yang protes.
Penonton tak sabaran menunggu si Uncle DD mengeluarkan ular besar yang bersemayam di dalam koper coklatnya. Orang orang makin antusias, lalu mencari posisi yang mantap untuk menyaksikan pertunjukan puncak atraksi ular Uncle DD.

Tapi hingga selesai tak sekali pun ia menyentuh koper itu kecuali menunjuk-nunjuk sekali-sekali. Datuak Dalu sibuk melayani permintaan obat sambil mulutnya tak henti-henti mencerocos kian kemari. Sampai satu persatu penonton mengundurkan diri karena bosan menunggu jadwal si ular.

Selain di pasar Padang Panjang, tontonan serupa juga sering kujumpai di Pasar Kotobaru tiap hari Selasa. Penjual obat keliling datang silih berganti. Tapi modus operandi mereka hampir sama saja. Menjanjikan sulap atau ular kobra, tapi sampai selesai hanya sibuk menjojokan obat gatal dan kutil.

Kendati selalu dikicuh di nan terang, publik penonton tak kapok-kapok. Kenapa demikian? Setelah kuanalisa, rupanya yang menarik itu bukan permainan sulap atau ularnya yang tak kunjung keluar itu, tapi kemahiran si penjual obat berpidato, berciloteh dan panjang lebar. Itu yang membius.

Ota mereka juga gedang pula. Berpura-pura peduli dan mengaku-ngaku hari itu adalah khusus untuk 'urang kampuang'.

”Dek lah lamo bakuliliang di nagari urang, lah wakatunyo pulo ambo babaliak ka kakampuang, mambantu dunsanak dunsanak nan ado di kampuang. Nan kiniko ambo babaliak ka kampuang mambaok oleh oleh untuak sanak sadoalahe…. Ikolah ubek sagalo ubek. Rematik jumbalang sakik pinggang, kada jo kurok landeh dek ubek ko. Kalau di tampek lain ubek ko ambo jua 50 puluah ribu saboto, tapi kini ko dek iko oleh oleh untuak sanak sadoalahe….ambo gratiskan……. Cuma ado ongkoih transpornyo se sangenek. Pangganti transportnyo…cukuik 20 ribu se saboto.....”

Lalu beberapa lama tak ada yang berminat, tahu-tahu ada penonton yang menyeruak dari belakang dan mengacungkan jari……

”Mak….awak bali tigo boto”

“Yuuuupss... tigo boto…..lanjuuuut. Sia lai?”

Berselang beberapa detik kemudian satu orang lagi ikut minta.

“Mak.., awak duo boto."

“Duo boto, hhha...iko nyo.”

Mereka penonton bayaran, pasti. 😀

Kalau penjual obat lain suka pakai tukang pancing atau penonton yang pura-pura tertarik dan membeli, Datuak Dalu nggak begitu. Dia orisinil. Ia tak peduli yang beli cuma satu atau dua orang.
☕

"Jangan biarkan opini orang lain menenggelamkan suara dari dalam diri Anda." Steve Jobs


Tags

Posting Komentar

0Komentar

Bagaimana kisah Anda?

Bagaimana kisah Anda?

Posting Komentar (0)

Portal StatistikEditor : Oce E Satria

Artikel diterbitkan oleh NostaBlog . Semoga artikel ini bermanfaat. Silakan bagikan ke media sosial Anda atau mengutip dengan menyertakan link artikel ini sebagai sumbernya. Terimaksih sudah membaca. Simak artikel-artikel menarik lainnya

To Top