Ciloteh/ Oce E Satria
👣
Semakin kita menua semakin kita rindu kembali menjadi kanak-kanak. Dunia yang kosong dari dendam dan intrik, tetapi kaya dengan warna yang polos. Hehe..warna-warni tapi polos, maksudnya gimana sih?
Sama seperti yang kita hadapi saat dewasa, masa kanak-kanak juga diramaikan dengan pertengkaran, permusuhan, dan perkelahian. Namun permusuhan itu tidak menyisakan dendam.
Misalnya waktu aku SD. Salah satu momen yang selalu bikin aku geli adalah kejadian perkelahian. Waktu itu aku sering terlibat bentrok antar jorong. Anak-anak jorong ini musuhan dengan anak-anak jorong itu. Entah apa penyebab dan pemicunya. Yang kuingat, tahu-tahu pada waktu-waktu tertentu kami sudah saling behadap-hadapan.
Murid-murid SD-ku memang berasal dari empat jorong. Kapalo Koto, Koto Nan Gadang yang berada di tengah, Kayu Tanduak di barat, dan Kandang Sampie timur. Musuhku dan genk-ku waktu itu kalau gak anak Kayu Tanduk, ya anak-anak Kandang Sampie.
Genk-ku adalah gabungan anak-anak Kapalo Koto dan Koto Nan Gadang. Mungkin karena secara geografis kami berada di tengah, jadi spirit kewilayahan menjadi kental secara otomatis. Dan aku menjadi sentralnya. Ondra, Feri, Endrinal, Syaf, Daus masuk kelompokku.
Sebenarnya musuhannya gak yang benar-benar musuhan, hanya saja laten. Sehari-hari di sekolah kami bermain bersama. Nggak ada problem. Duduk sebangku. Namun sewaktu-waktu ada saja pemicunya. Ujungnya ngajakin duel, atau tawuran.
Benaran adu jotos? Enggak selalu. Justru yang lebih banyak hanya gertak-gertakan saja. Saling menggaregak. Biasanya tukang kompor dan tukang adunya adalah senior-senior anak kelas 6.
Sebelum "perkelahian" berlangsung, biasanya di sekolah sudah janjian dulu nanti pulang sekolah duel di simpang, 100 meter dari sekolah di sebuah simpang tiga menuju pulang.
"Beko den nantian di Simpang!" begitu tantangannya.
Jam satu siang, saat pulang sekolah, simpang sudah ramai. Aku sudah siap, di belakangku ada enam temanku. Rivalku, kalau gak Pendi dan Man dari Kandang Sampie, pasti Adlis dan Yul dari Kayu Tanduk. Tapi dengan Erwin yang juga dari Kayu Tanduk aku malah temanan akrab. Kami sebangku. Hanya dengan duo jagoan itu saja. Kami musuh bebuyutan. Badan mereka besar-besar dan sangar. Kami, terutama aku, terbilang kerempeng. Tapi, namanya anak-anak mana ada rasa takut. Mau kelahi hayoo aja!!
Suatu kali waktu kelas 4, aku harus menerima tantangan Adlis. Ia bersama tandemnya Yul yang berbadan tambun sudah standby di Simpang. Anak-anak lain juga sudah ramai menunggu. Senior-senior sibuk memprovokasi.
Aku dan Adlis diperhadapkan persis dua petinju saat akan memulai pertandingan. Tinju terkepal, kuda-kuda siap. Tapi mata kami tak benar-benar saling sorot, justru melengos kemana-mana. Hal itu memperlihatkan antara sok bagak dan ngeper.
Beberapa orang senior mulai memanas-manasi. Senior 1 mengambil batu. Lalu membuat dua lingkaran kecil di tanah, dekat kaki kami.
"Ko apak ang, Eka, ko ayah ang Lis....." kata si Senior 2 menunjuk dua lingkaran mirip gambar kepala manusia.
Aku dan Adlis siap-siap mau menginjak "kepala" bapak pihak lawan. Tapi saling menunggu siapa duluan.
Kadang-kadang kalau kami kelamaan bertindak duluan, si senior brengsek itu inisiatip memprovokasi lebih panas lagi.
"Ndeehh.... nio waang tu, Ka? Kapalo apak ang dipijaknyo. Ndeeehhh....ndeeeehhh.... dikusai-kusainyo, Ka.....!!!" terus saja si senior itu nyerocos. Padahal kaki si Adlis dari tadi diam saja. Senior kian napsu menebar hasutan. Anjriiit gak tuh?
Selain melukis kepala ayah di tanah, kadang-kadang senior menggunakan yang lebih riil. Dua buah batu kerikil ditaruh di hadapan kami. Siapa berani menyepak batu duluan. Lalu dengan seenaknya si senior memprovokasi:
"Ndeeeehh..... kapalo apak ang ditendangnyo....!!!"
Padahal kaki kami diam saja ga ngapa- ngapain.
Saat itu kami, si junior bodoh ini, mirip netizen yang dibodoh- bodohi buzzer, dihasut dengan hoax. Membakar emosi.
Begitulah. Hari-hari kami di SD memang diwarnai dengan perseteruan yang tak jelas juntrungannya. Untungnya ga pernah ada bentrok gegara cewek.
Soal berkelahi ini, sepertinya di SMP juga berlanjut. Tapi penyebabnya bukan lagi karena faktor kewilayahan. Jadi gak ada tuh anak Aie Angek tawuran dengan anak Pandaisikek atau Kotolaweh. Perkelahian hanya dipicu hal-hal sepele dan pribadi.
Bahkan yang berasal dari satu kampung pun duel. Misalnya, duel antar temanku Amrizon dengan Indra Piliang. Pulang sekolah. Dua anak itu entah apa pemicunya tahu-tahu sudah sama-sama berlari ke tengah sawah yang kebetulan kosong dan kering. Mereka berantem benaran. Sialnya aku justru ikut menghasut dua-duanya. Lalu setelah masing-masing dapat jatah bogem mentah, mereka bubar.
Seingatku temanku Ferixs juga sempat duel dengan teman lainnya saat jam istirahat. Namanya Berry Selly. Adu jotos. Usai berantem, Ferixs memutuskan pulang lebih awal, aku yang mengemasi dan membawakan pulang buku-buku Ferixs.
Tapi, kendati masa kanak-kanak kami diwarnai perkelahian dan tawuran, seingatku persoalannya gak pernah ada yang membesar. Hanya begitu-begitu saja. Khas anak-anak.
Namun yang membuatku "nekat" menerima tantangan duel adalah, karena ada semacam perasaan menjadi hero. Khususnya di mata anak-anak cewek. Apalagi kalo si dia kulihat ikut menonton dari kejauhan. Ada sensasi unik ketika cewek itu menjerit tertahan menyaksikan satrianya ditonjok pria berandalan. Indah aja terasa. 😃
☕
Kisah Sebelumnya: Kenangan Masa Kecil (20): Guru-Guru SMP dalam Kenangan
"Beri nilai dari usahanya jangan dari hasilnya. Baru kita bisa menilai kehidupan." - Albert Einstein
Bagaimana kisah Anda?
Bagaimana kisah Anda?