Ciloteh/ Oce E Satria
Pagiku cerahku
Matahari bersinar
Kugendong tas merahku di pundak
Selamat pagi semua
Kunantikan dirimu
Di depan kelasmu
Menantikan kami
👣
Pertama melihatnya kupikir gadis manis itu mahasiswi yang sedang praktik di sekolahku. Namanya Syafweni. Ringkas saja. Seringkas tingginya yang kutaksir tak lebih dari 160an cm. Proporsional dengan bentuk wajahnya yang agak mungil. Mungkin sedikit imut. Manis, dibalut lilit kerudung (dulu belum dikenal akrab istilah jilbab). Tapi suaranya nyaring, sedikit melengking. Kalau di tape recorder mungkin treblenya agak kekencangan. Tapi orangnya asyik.
Meski mungil (gak mungil-mungil amat sih) dia mampu menguasai kelas jika sudah memulai pelajaran. Dan, seperti biasanya orang yang baru belajar bahasa Inggris (di SD gak ada mata pelajaran Bahasa Inggris), aku selalu takjub mendengar kata-kata yang keluar dari bibir mungil Bu Syafweni.
Sebenarnya waktu SD aku sering sok-sok bisa ngomong Inggris. Karena tiap hari Selasa sore di kampungku sekalu digelar event tradisional Adu Kabau. Di hari itu ratusan bule dari Bukittinggi berduyun-duyun datang ke kampung kami. Selama ini kami hanya lihat bule di televisi, di film The Six Million Dollarman", " Bionic Woman" atau "Little House on The Prairi". Sekarang bisa melihatnya dari dekat dan menjabat tangan mereka. Dan seperti kebanyakan bocah-bocah yang hepi pertamakali melihat bule, aku juga senang meneriaki bule-bule lewat. Kami selalu menyapa bule-bule yang kadang hanya bersarawa kotok saja dengan kaos oblong longgar dan ransel di punggung itu.
"Ai laf yu....ai laf yuuu.....!" seru kami setiap berpapasan dengan mereka. Mas-mas dan mbak-mbak bule itu pasti akan membalas, "lof yu tu...," sambil tersenyum dan melambaikan tangan.
Dibalas seperti itu rasanya sudah sangat keren. Brasa sudah berada di TOEFL sekian.
Bu Syafweni meyakinkan kami kalau belajar Bahasa Inggris itu mudah. Nanti akan gampang ngobrol dengan orang Amerika kalau kita ke sana. Kata dia. Tapi kenyataannya, sulit.
"Buk, dari mana asal mulanya bahasa Inggris itu pakai ing?" tanyaku suatu kali.
Bu Syafweni tersenyum, mungkin merasa lucu dengan pertanyaan lugu itu. "Eka, kita tidak mempelajari asal usulnya. Kita belajar susunan kalimat saja dulu yaaak! Paham?" begitu jawabnya.
Pak Mas'ud.
Beliau mengajar Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Selain mengajar, beliau juga menjabat wakil kepala sekolah. Tapi menurutku DNA-nya bukan guru karier. Ia cenderung berpikir cara ustad, kadang filosof, pemikir, psikolog dan macam-macam. Gak jelas tupoksinya selama yang kutahu. Kalau gak salah beliau juga menjadi guru pengganti bagi guru-guru yang absen. Karena kalau di kelasku ada guru absen, tahu-tahu bapak ini muncul. Tanpa preambule, beliau langsung berciloteh di depan kelas.
Setiap dia mengajar, menggantikan guru lain, ia terus saja berciloteh utara-selatan. All arround. Dia fasih bicara apa saja. Utamanya soal-soal politik keislaman kontemporer. Dia ahli berpidato. Teknik public speakingnya lumayan.
Sebagai jomblo yang tinggal di sekolah (tempat tinggalnya adalah sebuah ruangan di samping kelas labor) Pak Mas'ud seperti Angka Satu-nya Caca Handika. Di sana, di kamarnya yang bersih itu aku sering nongkrong, baca buku. Pak Mas'ud ini kutu buku. Ruang tempat tinggalnya yang sempit itu dipenuhi buku-buku berbagai judul dan aliran. Dia senang berdiskusi. Dan yang selalu kuingat, dia oposan orde baru. Pak Mas'ud adalah guru PMP yang sering menyinyiri sistem demokrasi Pancasila. Ha ha ha.....
Bu Wisneti
Ini adalah nama yang selalu kuingat. Bukan karena beliau cantik, tapi karena ia selalu mengajar dengan cara yang menurutku unik. Bu Wisneti mengajar sejarah. Hampir setiap pelajaran sejarah beliau selalu mendiktekan pelajaran untuk dicatat. Gak tanggung-tanggung dia mendiktekan bahan dua halaman bahkan lebih, hapal di luar kepala (sebenarnya di luar apa dalam sih?) .
Tak sekalipun dia melongok buku saat mendiktekan pelajaran. Dia hapal tahun kapan Kerajaan Singosari jatuh, kapan Ken Arok mulai menjabat. Kupikir tiap malam beliau menghafalkan bahan untuk didiktekan besok.
Suara Bu Wisneti datar-datar saja. Kadang-kadang - lantaran kelamaan mendiktekan - suaranya bisa serak. Namun Buk Wisneti tak menyerah, dengan suara parau, wajah yang letih, dan urat leher sedikit menegang, beliau menuntaskan jam pelajaran. Di situlah aura sexy-nya terasa, dari suara dan keseluruhan pembawaannya saat mengajar itu.
Kemarin, 2018 lalu saat reuni akbar, dari pentas reuni aku berpidato mengenang dan memuji beliau. Saat itu kusebutkan hal-hal yang kukagumi dari beliau. "Ibu adalah salah satu guru yang berkesan bagi saya," ucapku.
Pak Erizal Yusak
Beliau ini guru Matematika. Guru yang disukai murid-muridnya. Profilnya cocok dengan kecanggihan otaknya. Kepalanya nyaris botak, mirip profesor, hanya tersisa rambut lurus bagian belakang. Kumis dicukur klimis, jenggotnya tebal, hidungnya kecil mancung. Ia gagah dan macho bak bintang film. Guru yang sudah almarhum ini (Alfatihah untuk beliau 🤲) selalu asyik mengajarnya. Beliau gak pemarah. Lembut.
Dalam setiap pertemuan Pak Erizal Yusak selalu menerangkan satu pokok masalah dan langsung memberikan satu latihan soal, sepanjang jam pelajaran. Ia penganut teknik "Pelajari - Praktikkan - Pahami langsung di TKP. Aku dan Fahrizal, temanku selalu rally berpacu siapa cepat mengerjakan soal-soal. Tiap satu soal langsung disodorkan kepada beliau. Begitu terus.
Bu Nelyati
Beliau mengajar bahasa Indonesia. Tingginya dan bodynya serasi. Meski sedikit jerawatan tapi wajahnya manis. Gampang ketawa. Konon, dia punya pacar seorang bintara polisi yang berdinas di Polsek Kotobaru. Benar enggaknya aku juga gak bisa pastikan. Tapi begitu yang viral waktu itu.
Beliaulah yang selalu memujiku karena karanganku dan bahasa Indonesiaku cukup membuat beliau puas. Bu Nel juga yang memotivasiku bahwa aku punya bakat mengarang. Dia bercerita bahwa dia hobi menulis cerpen. Salah satu cerpen beliau berjudul "Pertemuan di Meja Hijau" dimuat di Haluan Minggu. "Kalian pun bisa mengirimkan karya kalian ke koran Haluan," begitu ia memprovokasi kami di kelas.
Bu Rafni KR
Siapa pun yang pernah menjadi murid SMPN Kotolaweh pasti tahu nama satu ini. Ciri khas beliau adalah songkok di kepala. Maklum waktu itu jilbab belum ngetren. Tahi lalat di dagunya juga menjadi salah satu penanda guru yang sangat disiplin ini.
Beliau mengajar IPS, Kesehatan dan (apalagi yaaa?). Di kelas pada saat menyampaikan materi pelajaran, Bu Raf selalu bersemangat. Suaranya lantang bertenaga. Sorot matanya tajam. Dan jangan coba-coba lengah atau planga-plongo di jam pelajaran beliau. Saat mendiktekan bahan pelajaran Bu Raf dikenal dengan ketelitian dan ketat hingga hal-hal yang detail. Titik koma harus tepat, hal itu terasa pada intonasinya yang tepat dengan aksentuasi yang pas . Tak heran daya ingatnya sangat kuat.
Bahkan pada Reuni akbar murid-muridnya angkatan 85-88, beliau dengan sempurna mengabsen 80an mantan muridnya 30 tahun silam. Beliau mengabsen para alumni dengan menyebutkan nama lengkap kami. Woww.....ingatan beliau masih tajam di usia 60an tahun.
Sampai sekarang beliau masih mengajar di SMPN Kotolaweh.
Bu Mardiati
Sekilas (menuruku) guru satu ini mirip Yati "Ani" Octavia, pacar abadi H Rhoma Irama dari film "Penasaran" sampai film "Berkelana" I dan II. Wajahnya manis. Kesan lembut sangat terasa karena diframe oleh kedua matanya yang menawan. Tubuhnya yang tinggi semampai dengan rambut ikal sebahu membuat bayangan profilenya sering menyiksa mimpi dan tidur para lelaki yang sedang di ambang pubertas. Keseluruhan jasmani dan rohaninya mampu menyingkirkan pesona gadis ting ting yang sok talen.
Kalau beliau menerangkan pelajaran Geografi, aku gak mau berkedip. Malas izin ke toilet, atau rasa kantukku tiba-tiba saja lesap, dihisap pesona bu guru satu ini. Selain gak pernah marah, Bu Mardiati juga pengertian, kalau misalnya kita lupa ngerjain tugas. "Besok dibawa, yak!" katanya dengan nada lembut, membuat hati tenang dan serasa ingin cepat-cepat taubat nasuha.
Alhamdulillah, hasil belajar dengan konsentrasi penuh, nilai Geografiku dengan Bu Mar selalu di atas rata-rata. Sejak itu aku memproklamirkan diri sebagai pencinta Geografi saja.
......Ah, mengenang pahlawan-pahlawan tersebut sering membuatku baper. Banyak lagi guru-guru yang berkesan. Ada Bu Nurhayati guru Fisika, Bu Zarnelis guru Keterampilan Jasa, Pak Gusrizal, guru PMP dan wakil kepala sekolah, Bu Zakiah, pustakawan, Bu Salma guru Bahasa Inggris, Bu Nurwismar guru PMP yang cs para murid. Dll.
"Guruku tersayang
Guru tercinta
Tanpamu apa jadinya aku
Tak bisa baca tulis
Mengerti banyak hal
Guruku terimakasihku.."
☕
#SayangiGuru
Kisah Berikutnya: Kenangan Masa Kecil (21): Duel di Simpang Tiga
“Tidak ada yang akan berhasil kecuali kau melakukannya.” - Maya Angelou
Bagaimana kisah Anda?
Bagaimana kisah Anda?