Ciloteh/ Oce E Satria
👣
Rabu, 10 Juni 1987
......Satu lagi nich. Kepergok oleh si wisneti ketika aku asyik membuka buku di wece. Sang guru mulanya melihat lama sekali sementara aku baru kaget kemudian. Deg-deg plas perasaanku. Namun aku telah selesai ujian sehingga apa yang kulihat di buku tak mungkin kutulis lagi. Aku pun cuma menolong teman2 yang nanya ini itu......
👣
Itu adalah sebuah momen yang sempat kucatat dalam buku harian tahun 87. Di mana sebelumnya istilah jimat pertama kali kudengar dan kulihat makhluknya pada waktu kelas 1 SMP.
Sebenarnya pada waktu kelas 6 SD aku sudah sering dengar istilah itu terucap dari obrolan kakakku dengan temannya. Mereka waktu itu sudah SMA. Saat itu aku merasa aneh mendengarnya. Masa sih di sekolah ada jimat. Trus cara memakainya gimana? Dililitkan di leher kayak yang dipakai bayi?
Di SMP barulah ramai anak-anak ngomongin jimat pas ujian semester. Tapi untung selama SMP aku gak pernah bikin jimat. Aku baru mulai tergoda waktu kelas 2 SMA. Karena waktu itu setiap ujian semester di lapau Ni Ena (tempat aku dan anak-anak cowok nongkrong) teman-temanku pasti sibuk bikin jimat dadakan. Aku pun akhirnya kepincut mau bikin juga.
Di SMP kelas 3 aku punya teman sekelas yang boleh kusebut sebagai ratu jimat. Sebut saja namanya Ive (bukan nama sebenarnya). Dia anak paling telaten setiap kali menghadapi ujian. Persiapannya matang banget. Ya, bikin jimat.
Dan dia bikinnya rapi. Hurufnya mungil sekali. Ditulis di kertas super panjang mirip struk belanjaan emak-emak di Jayen awal bulan.
Jimat panjang itu digulung, lalu ia sembunyikan di salah satu pojok di kawasan dalam rok birunya. Entah bagaimana cara ia bisa dengan aman mengeluarkan jimat itu dalam suasana tegang dan mendebarkan. Ia sudah terlatih, sepertinya.
"Eka nio dibuek an lo?" ledeknya suatu kali saat aku geleng-geleng kepala waktu melihat ia memamerkan jimatnya sebelum masuk ruang ujian.
"Ciek baduo se lah wak," jawabku sekenanya.
Aku yang duduk persis di belakangnya kadang-kadang terkekeh melihat bagaimana dia kebingungan ketika mencari posisi di baris mana sebuah jawaban bisa ia temukan di jimat yang ia bikin sendiri. Saking banyak dan panjangnya.
Menurutku dia tidak paham konsep perjimatan. Ia tidak tahu definisi jimat. Makanya dia tulis sebanyak-banyaknya kemungkinan dalam satu gulungan panjang. Ia tak paham tutorial membuat dan memanfaatkan jimat dengan cepat dan aman.
Padahal sebenarnya fungsi jimat adalah sebagai alat bantu untuk poin-poin yang dianggap penting saja. Rumus misalnya. Atau definisi. Si Ive ini malah bikin jimat yang rinci.
Setahuku nilai rapornya tak cukup menggembirakan. Tak ada kemajuan. Jimat itu akhirnya nonsens saja. Namun si hitam manis itu termasuk tipe murid yang never say die alias pantang padam sebelum pulang, eh pantang pulang sebelum padam. Ia tetap istiqomah bikin jimat. Dan dia hepi. Buktinya, sepanjang hari di kelas 3 C, tiada hari tanpa cekikikan anak itu. Di deretan lajur paling kanan di mana bangku kami berada, waktu itu selalu berisik, dan dia biangnya. Teman sederetan kami, Resi, dan lainnya justru bukan anak-anak bandel. Tapi kalau si Ive sudah cakakak cekikik, yang lain ikut-ikut.
Sejarah dunia pendidikan di belahan dunia mana pun memang diwarnai dengan perjimatan. Di Amerika juga dikenal jimat anak sekolahan, terutama anak-anak SMA-nya. Caranya juga masih konvensional yakni seperti yang dibuat temanku si hitam manis itu.
Belakangan -- khusus murid perempuan -- medianya tidak lagi kertas. Tapi bisa ditulis di balik baju seragam, atau bahkan paha. Maka, boleh kupastikan di mana pun sekolah, pasti kita pernah kepergok liat paha mulus teman kita bertuliskan rumus fisika atau matematika. Boleh jadi ada yang menulis salah satu bunyi pasal undang-undang dasar di pahanya!
Selain jimat, cara lain mengakali ujian adalah intip buku dan bertransaksi di toilet sekolah. Saat ujian sedang berlangsung, lalu lihat seluruh soal agar tahu mana soal-soal sulit. Lalu izin ke pengawas dengan mimik wajah meringis sambil membungkuk dan kedua tangan seolah-seolah sedang menahankan sesuatu di bawah puser. Pengawas curiga, namun tak tega melihat wajah memelas.
Di toilet, sebelumnya sudah ada sejumlah buku yang sengaja ditaruh di situ. Masa depan bangsa ditentukan dari sana.
Hari itu Bahasa Inggris adalah mata pelajaran terakhir yang diujikan. Selanjutnya adalah kegiatan class meeting dan kegiatan Osis lainnya.
Pagi ini aku tak melihat Nefa. Rencananya aku mau menyerahkan lagi karyaku untuk dijadikan konten Mading, sebuah puisi. Mau datang mengantar naskah ke lokalnya aku segan. Grogi tepatnya. Selain grogi karena dia, juga grogi lantaran kelas dia adalah gudangnya cewek-cewek cakep. Gak kebayang bagaimana memerah mukaku saat mereka asyik bergosip tahu-tahu makluk awut-awutan datang tergopoh-gopoh dan berkata tergagap-gagap berkeringat, "Misii kakak-kakak...., maaf saya mau ngasihun kertas ini ke kakak Nefa...."
Daripada melewati kawasan menyeramkan itu, aku pilih cara aman saja.
Sebentar-sebentar aku melongok ke arah lokal Nefa, mengintai kalau-kalau doi nongol keluar kelas dan akan langsung kupanggil. Tapi dia gak nongol, sampai 29 tahun kemudian. 🤣
Memang sih pantes aja kalau dia itu selalu juara umum. Main di kelas mulu! Jangan-jangan besar nanti ia akan jadi dosen. Hmmm....., aku akan menjadikannya salah satu tokoh andai suatu saat aku bikin novel. Bu Dosen dan aku mahasiswanya.
Tapi, kendati pintar dan rajin, dia salah satu teman yang supel dan ramah pada siapa pun. Aku belum pernah liat dia manyun, ketus, berkata judes bin pedes binti kremes. Tidak pernah. Senyumnya bikin hati damai. Namun untuk memacarinya, ahh jauh panggang dari api. Mana dia mau?
Meski terkenal sebagai murid yang rajin belajar, jangan kira dia gak pernah malala. Seingatku saat SMP dia pernah mendaki gunung Singgalang bersama si mata belok. Aku pernah liat foto di mana mereka berpose di puncak Singgalang. Hnmmm.....aku salut pada keduanya. Secara remaja SMP ingusan yang entah sudah menstruasi atau belum, tapi mereka sudah menaklukkan Gunung Singgalang. Gila!
Aku mencoba mengingat-ingat kenapa dan dalam momen apa kok nama Nefa ini ada sebagai pengelola majalah dinding. Apa perlu kudatangi lagi mantan sekolahku untuk membongkar notulen rapat Osis tahun 1987?Kubolak-balik diary-ku dari Januari 86 sampai Desember 87, gak ada catatan tentang itu. Kecuali catatan bertanggal Senin 12 Oktober 87 di mana tertulis:
"Hari ini aku melonjak bahagia! Karena di papan terpampang pengumuman untuk mendirikan Mading & lomba mengarang di classmeetting (kata "mendirikan' yang kutulis itu, lebay, lha cuma mading doang coy, bukan perusahaan. Sok atuh🤣)
Aku tanya ke Gustinefa, "Kapan nih mulai?"
"Sekarang juga boleh. Pokoknya jika sudah dikumpul, madingnya bakal terbit."
Suaranya adem.
Aku mengkhayal, pasti asyik bakal sekantor dengan anak itu di ruang redaksi! Tapi seingatku sampai kami tamat, gak ada tuh kantor redaksi mading. 😜😄
🙏maapin muridmu yg badung ini ya Bu Wisneti Koto ..... Sehat selalu Bu... Aamiin.
☕✍️
Kisah Berikutnya: Kenangan Masa Kecil (20): Guru-Guru SMP dalam Kenangan
Kisah Sebelumnya: Kenangan Masa Kecil (18): Misteri Bando Putih
"Kamu tidak bisa kembali dan mengubah awal saat kamu memulainya, tapi kamu bisa memulainya lagi dari di mana kamu berada sekarang dan ubah akhirnya." - C.S Lewis
Bagaimana kisah Anda?
Bagaimana kisah Anda?