Ciloteh/ Oce E Satria
👣
Hari itu, sehari setelah ujian semester ganjil 1987. Di berbagai lapangan, volley, takraw, tenis meja dan bulutangkis terdengar riuh sorak sorai. Class Meeting, perlombaan antar kelas merayakan berakhirnya semester. Suara gedebuk bola, suara pluit wasit, yel-yel penonton hingga teriakan histeris dan manja supporter bercampur baur.
Tiba-tiba seseorang menepuk bahuku. Rupanya Pendi.
"Pado nonton itu. Ncak pai jo den nah...," ia langsung menawarkan ajakan.
"Kama?" tanyaku sambil terus memperhatikan serunya pertandingan tenis meja yang berlangsung di gedung sebelah timur.
"Ikuik se lah, beko den jalehan," ia terus saja menarik tanganku. Menjauh dari arena classmeeting. Ia membawaku ke belakang sekolah, ke arah rerumpunan bambu.
"Nio baraja marokok lo waang!" aku langsung tebak maksud anak yang terbilang anak baik-baik ini. Apakah dia sudah pernah mencoba merokok, dan hari ini ingin mencoba lagi dengan aman? Soalnya dia membawaku ke arah rumpun bambu. Smoking Area.
Mantap nih kalau diajak merokok. Pasalnya kantongku lagi garing. Mayan kan? Dapat rokok perai. Tak penting apa merek rokoknya, asal bisa menikmati ritual hisapan panjang lalu mengeluarkannya via dua lubang hidung. Tak penting rasanya, yang jelas keren sekali.
Macam orang dewasa yang saban hari kulihat di palanta-palanta lapau. Apalagi kalau bisa mengeluarkan asap di mulut berupa bulatan-bulatan, kadang-kadang bentuknya lope lope.
Temanku si Pendi ini orangnya bukan begajulan. Dia anak baik. Bahkan lumayan alim. Karena aku pernah duduk sebangku dengannya, aku sering dikuliahinya soal fadilah baca ini itu, hakekat hidup, dan segala macam. Kupikir dia memang sedang belajar tasawuf atau apa gitu.
Tapi kenapa tiba-tiba dia kepincut ingin merokok di balik rumpun bambu? Ah, bisa saja, walaupun dia agak alim gitu, yang namanya syaiton yang terkutuk punya banyak trik menggoda para cucu Adam, bukan?
"Bukan, ndak marokok doh. Pangana Eka marokok ka marokok se mah!" ujarnya saat kami sudah sampai di kerimbunan pepohonan di lereng terjal lembah Lurah Aie Kalek itu.
"Tu? Apo cito ko?" tanyaku
"Manuruik Eka, baa kok banyak bana karo (monyet) di sekitar sekolah wak ko?"
Anjaaaay.... Dia nanya soal monyet!🤣 Trus kenapa ke aku? Trus, gerangan apa yang membuatnya terobesesi dengan binatang satu itu? Jangan-jangan dia habis baca novel Abdullah Harahap yang banyak menulis kisah-kisah cinta berbau mistis di hutan-hutan Jawa Barat? Heh?
"Baa kok tapikia jo karo lo, Pendi?" aku mulai curiga.
Dia beranjak ke tempat yang agak datar, lalu duduk mencongkong. Aku mengikuti. Mencongkong di sampingnya. Wah, ini macam dua pesilat yang sedang mengintai musuh. 😄
"Kabanya dulu Lurah Aie Kalek nan di bawah tu tampek istano karo. Makonyo kini sekolah awak banyak karo, tiok hari bakaliaran. Pasti kerajaan karo ko tagaduah gara-gara pemerintah mambangun sikolah di siko. Baa manuruik, Eka?"
Kontan seketika aku tergelak. "Ha ha ha.....barasian Pendi? Den sangko apo tadi tu. Ha ha ha. Lah, den baliak lai."
Aku buru-buru bangkit, menyeruak di antara helai daun bambu. Kembali ke arena classmeeting. Pendi mengikuti.
"Alun salasai carito wak lai Eka kabur se," omelnya.
Begitulah. Kadang-kadang kalau terlalu banyak mendengar info yang tidak-tidak kita bisa terperosok ke dalam cara pikir tak logis. Inilah yang dikritik Tan Malaka di buku yang super tebal itu "Madilog, Materialisme, Dialektika, dan Logika". Orang kita gampang hanyut oleh cerita tahayul. 🤣🤣🤣
A few moment later . ..
Aku memanggil anak itu, si rambut kepang kuda dan keningnya ditutupi juntaian rambut yang berayun itu. Di depan kelasnya.
"Efa!"
Anak itu menoleh. Seperti biasa, dua bilah pedang di bawah hidungnya mengembang. Senyumnya menawar gerah siang yang melecut.
"Ini tulisanku," kataku sambil menyodorkan dua lembar kertas dobol folio berisi artikel.
"Kok cepat amat?" ia menerima kertas itu.
Aku hanya nyengir. Kikuk mau ngomong apalagi. Lalu pamit kembali ke kelasku.
Gustinefa, temanku itu memang ditugasi mengurus Majalah Dinding (Mading) oleh Pak Mas'ud, pembina Osis. Rencananya Osis akan meluncurkan Mading. Aku dan Nefa adalah salah dua di antara pengelolanya. Nefa ini adalah murid terpintar di antara kami yang rata-rata fakir ilmu ini 😁.
Aku lupa, artikel itu tentang apa. Aku lupa mencatatnya di diary. Tapi kalau tak salah topiknya tentang kedisiplinan dan prestasi belajar.
Kelak 30 an tahun kemudian aku dan dia ketemu lagi dalam dunia kepenulisan. Dia ikut mengedit novelku (yang masih naskah itu 🤣)
Foto: anime
Kisah Berikutnya: Kenangan Masa Kecil (18): Misteri Bando Putih
Kisah Sebelumnya: Kenangan Masa Kecil (16): Diam-Diam Minjam Nick Carter
"Cinta adalah ketika kebahagiaan orang lain lebih penting dari kebahagiaanmu." - H. Jackson Brown
Bagaimana kisah Anda?
Bagaimana kisah Anda?