Kenangan Masa Kecil (13): Surat Cinta di Laci Meja

3 minute read
0

 

Ciloteh/Oce E Satria

Kemarin (12):

......

Ah, andai saja waktu itu sudah ada teknologi pesan pendek, atau facebook, tentu beban batinku bisa sedikit berkurang. Bisa langsung nembak dan tersampaikan.  Tapi di mana romantisnya? 

Sret..sret...sret.. .puisi selesai.  

Tapi, gimana ya caranya agar puisi ini bisa sampai ke dia? 


..........

Untuk urusan sepenting ini aku gak mau melibatkan orang lain. Jadi, tak mungkin menitipkan puisi cinta itu pada temanku atau temannya. Itu berisiko mempermalukanku andai misi ini gagal.

Akhirnya kuputuskan melakukan aksi mengirim puisi langsung. Tapi bukan langsung ke orangnya. Itu berisiko mempermalukanku. Nanti kalau dia menolak menerima gimana? Atau setelah diterima tanpa dibaca, suratku disobek-sobek menjadi ribuan potongan kecil-kecil sambil mengangkat ke depan hidungku lalu memburaikannya. Bayangkan bagaimana perihnya melihat puisi yang telah kubuat susah payah itu hancur berkeping-keping dilibas angin. 

Selesai mendemonstrasikan aksi itu dia sambil mendengus berkata, "Ngaca duluuu..., Pfuiiihhh...!"

Untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk seperti itu aku memutuskan akan meletakkan surat berisi puisi itu ke laci mejanya. Dengan cara ini aku yakin setidaknya suratku akan ia baca karena ingin tahu isinya. Lagi pula aku hanya menuliskan "untuk X3HRDWUKLY" di sampulnya, tanpa namaku.

Kebetulan hari itu jam pelajaran olahraga. Kami belajar di luar kelas, di lapangan volley di belakang sekolah dekat rerumpun pohon bambu. Pohon bambu itu berada di lereng tanah yang memanjang ke lembah di sebelah timur. Bagi kami pria-pria badung yang baru mengenal rokok, di sebalik rumpun bambu itu ada tempat persembunyian. Khusus untuk merokok. Lumayan aman di sana dari intaian para guru.

Saat jam olahraga itulah aku izin pada guru olahraga, pura-pura mules. Aku lalu masuk kelas,  menuju mejanya, dan memasukkan surat di atas buku yang ada di laci. Yess..., misi selesai..!!!

Aku membayangkan dia gak bakal membaca surat rahasia itu di sekolah karena berpotensi menimbulkan fitnah dan risikonya benar-benar besar. Bukan untuk dia, tapi untukku.

Dia pasti akan terkejut begitu tangannya menyentuh surat itu di dalam laci mejanya. Jantungnya berdesir. Wajahnya memerah padma, semburat jingga diamuk pesona asmara. Seketika pikirannya pasti sudah melayang-layang di mega-mega, dihangatkan mentari pukul delapan.

Ia lalu mengambil surat itu, dan diam-diam sambil celingak-celinguk kanan-kiri, memasukkan cepat-cepat ke dalam tasnya. Ia masih bertanya-tanya dalam hati. Siapa gerangan makhluk nakal yang telah berbuat ini?

Kubayangkan lagi, ia tak sabaran segera pulang, buka sepatu,  lemparkan tas, masuk kamar, kunci pintu, lalu menghempaskan tubuh ke atas kasur. Ia mulai membuka rekatan amplop dengan sangat hat-hati, tak ingin sampul surat itu rusak. Kemudian menarik keluar dua lembar kertas  surat, tentu saja dengan prosedur yang sama: super hati-hati. Sebelum membacanya, dua lembar surat itu ia dekapkan ke dada, seolah ingin merasakan aura romantika yang sangat langka. 

Dan inilah klimaks dari seluruh kejadian ini: matanya berbinar-binar mengeja satu demi satu kata yang kutulis. Sesekali ia tersenyum dikulum, sesekali tertawa cekikikan, tempo-tempo matanya yang indah itu membalalak, terkesiap sambil mulutnya membentuk huruf "O".

Begitulah imajinasiku tentang berbagai kemungkinan yang akan terjadi karena surat cinta berpuisi itu.

Jam olah raga berlangsung seru. Seru karena anak-anak bermain voley dengan semangat sambil ketawa-ketawa. Anak-anak cewek sebagian sibuk bergerombol sambil ngemil.

Ketika jam pelajaran olahraga selesai jam palajaran berikutnya dilanjutkan dengan guru lain. Kelas berlangsung seperti biasa, sampai selepas dzuhur kami pulang. 

Saat itu aku melihatnya  berjalan tergesa-gesa, bergegas. Hmmm... Inilah efek dramatis dari sebuah surat cinta. Seseorang akan terintimidasi oleh rasa penasaran. Sebaliknya aku juga galau memikirkan hasilnya. Apakah hasilnya nanti akan mempermalukanku atau bakal membuatku patah hati.

Besoknya aku berdebar-debar menunggu balasan dari dia. Tapi ternyata sampai jam pelajaran selesai aku tak menerima apa-apa. Besoknya masih kutunggu. Namun sama saja. Belum dibalas. Apakah dia tidak bisa menulis surat?

Kuperhatikan reaksi wajahnya. Kalau-kalau saat bersirobok pandang denganku wajahnya akan merona malu. Namun air mukanya tak berubah. Biasa-biasa saja. Besok dan besoknya sama saja.

Tigapuluhan tahun kemudian aku menanyakan tentang surat itu, langsung empat mata. Dan aku benar kaget sambil ngakak. Ternyata dia tak pernah tahu ada surat di laci mejanya waktu itu. Makanya gak pernah baca. Busyet dehh. !

"Kamu sih gak terus terang," begitu ucapnya sambil tersenyum-senyum geli.

Eeetdahh..!


(pelajaran moral cerita ini:  Jangan Bohongi Guru Olahraga) 😁


Kisah Berikutnya: Kenangan Masa Kecil (14): Tangan Bu Guru Masuk Kantong Celana, Lalu Kaget!

 Kisah Sebelumnya: Kenangan Masa Kecil (12): Amantes Sunt Amentes, Amor Caecus Est...

 Seseorang tak akan pernah tahu betapa dalam kadar cintanya sampai terjadi sebuah perpisahan - Kahlil Gibran

Portal StatistikEditor : Oce E Satria

Artikel diterbitkan oleh NostaBlog . Semoga artikel ini bermanfaat. Silakan bagikan ke media sosial Anda atau mengutip dengan menyertakan link artikel ini sebagai sumbernya. Terimaksih sudah membaca. Simak artikel-artikel menarik lainnya

Posting Komentar

0Komentar

Bagaimana kisah Anda?

Bagaimana kisah Anda?

Posting Komentar (0)
To Top