Ciloteh/ Oce E Satria
👣
Aku tak tahu kenapa aku menyukai puisi dan tak ingat kapan pertama kali menulis puisi. Dan sampai sekarang keterusan.
Mungkin karena waktu kelas 6 SD aku sempat jadi penguasa perpustakaan. Bu Nurlian, guru agama kami yang waktu itu juga menjadi penanggung jawab perpustakaan membebaskan aku membawa pulang buku-buku. Pasalnya, waktu itu aku adalah satu-satunya murid yang tiap hari ada di pustaka. Kadang ikut membantu merapikan buku-buku.
Koleksi perpustakaan waktu itu lumayan banyak. Aku menikmati novel "Pengalaman Masa Kecil" karya sastawan angkatan Balai Pustaka, Nur Sutan Iskandar, "Anak Perawan di Sarang Penyamun" karya STA, "Enam Jam di Jogja" karya Purnawan Tjondronegoro, dan banyak lagi. Termasuk beberapa buku puisi. Aku tertarik menulis puisi.
Masa SMP konon di sinilah pubertas dimulai. Menurut buku Informasi Kesehatan Peserta Didik Tingkat SMP/MTS dan SMK/SMK/MA Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, masa pubertas akan dialami anak pada usia 10-19 tahun. Biasanya pada umur 10 sampai 12 tahun. Namun, ada juga yang dimulai pada usia lebih tua dari usia tersebut.
Pas, berarti aku masuk kriteria Depkes!
Di SMP, suatu hari aku berencana menembak seorang cewek yang hampir tiap hari mengganggu pikiranku. Cantiknya kelewatan, rawan menabrak hati para lelaki. Aku salah satunya.
Tapi berterus terang secara frontal, manalah mungkin. Mentalku belum setangguh itu. Namun si manis itu gak mungkin dibiarkan bersimaharajalela mengusik tidurku. Masalah ini harus diselesaikan.
Seperti jamaknya pria-pria kasmaran, aku masih terobesi memiliki pengalaman seindah cerita-cerita dalam film "Puspa Indah Taman Hati" atau "Gita Cinta dari SMA"-nya Rano Karno yang sering diputar di TVRI. Apalagi aku menganggap kalau sudah SMP, maka aku sudah sah memasuki masa pubertas. 🤣
Saban hari melihat dia, aku makin blingsatan. Melihat dia ngobrol dengan pria-pria lain, aku makin senewen. Melihat senyumnya yang sekilas-sekilas itu aku makin nelangsa diamuk badai rindu. Melihat dia lari-larian aku makin terobsesi menjadi teman dekatnya, lari-larian berdua di pematang sawah saat pulang sekolah.
Sayangnya, selama itu pula aku hanya mampu melihatnya dari kejauhan. Lalu mengutuk diri sendiri: penakut!
Beruntung, aku punya sedikit kemampuan menulis puisi. Waktu itu, kuputuskan menembak si dia ini lewat sebuah puisi. Tepatnya puisi pengganti surat, atau surat dengan rasa puisi.
Malam-malam di rumah aku mulai mengarang sebuah puisi. Tentu saja puisi cinta. Aku menulisnya di bawah penerangan lampu teplok. Karena waktu itu sebagian kampungku belum tersentuh dan dialiri listrik (ternyata listrik itu memang awalnya menyentuh, lalu mengalir, lantas menyetrum, dan....., akhirnya menyala😁).
Ada beberapa kali puisi itu mengalami bongkar pasang, sebelum akhirnya benar-benar fix dan siap ditulis rapi di selembar kertas beraroma amor.
Ah, andai saja waktu itu sudah ada teknologi pesan pendek, atau facebook, tentu beban batinku bisa sedikit berkurang. Bisa langsung nembak dan tersampaikan. Tapi di mana romantisnya?
Sret..sret...sret.. .puisi selesai.
Tapi, gimana ya caranya agar puisi ini bisa sampai ke dia?
Pusing memikirkan itu, aku pilih tidur. Kutinggalkan saja kertas dalam tumpukan buku. Gimana besok aja.
(Amantes sunt amentes...)
Kisah Berikutnya: Kenangan Masa Kecil (13): Surat Cinta di Laci Meja
Kisah Sebelumnya: Kenangan Masa Kecil (11): Kami Memang Badung
"Asmara bukan hanya sekedar saling memandang satu sama lain. Tapi juga sama sama melihat ke satu arah yang sama." - Antoine de Saint-Exupéry
Bagaimana kisah Anda?
Bagaimana kisah Anda?