Ciloteh/ Oce E Satria
👣
KETIKA pertama kali memakai seragam putih biru, aku merasa tingkat kegantenganku bertambah dua garis.
Menjadi murid SMP kupikir semua teman-temanku -- bahkan semua murid baru SMP di manapun -- juga punya perasaan yang sama, menganggap diri bukan lagi bocah ingusan. Padahal masih.
Menghirup salemo masih seperti dulu, prosedurnya sama: salemo menghilir tanpa diketahui, lalu agak lama baru terasa dan nyadar. Tapi bukannya dibuang melainkan dengan sekali tarikan nafas disertai gerakan mengangkat bahu, salemo ditarik masuk lagi dengan kecepatan supersonik. Otomatis.
Atau ada yang masih suka lari-larian sambil memegang celana yang nyaris turun, karena hak dan sletingnya copot. 🏃♀🏃♀🏃♂ Itu berlangsung alamiah. Tanpa malu.
Barangkali perasaan sok udah dewasa yang menghinggapi anak-anak seusiaku muncul karena mendapati suasana baru-baru di sekolah baru. Tapi bukan itu poinnya. Penyebabnya adalah, murid-murid baru terlihat keren. Yang perempuan cantik-cantik, imutnya sudah lesap. Anak laki-laki juga begitu. Anak-anak baru yang berasal dari sekolah lain itu terlihat cakep. Apalagi bagi yang sudah numbuh kumisnya dua tiga lembar atau tulang keringnya ditumbuhi bulu. Itu keren sekali.
Kenyataan itu membuat para alumnus SD tak mau terlihat culun di mata teman-teman barunya. Mereka jadi auto jaim. Apalagi yang sudah lulusan meja jagal mantri sunat, atau yang sudah mimpi basah, harus mulai mengatur-ngatur sikap. Mendewasa-dewasakan diri. 'Jangan sebut gue bocah'. Mungkin begitu yang ada di pikiran kami yang "bocah bukan remaja pun belum" ini.
Kendati begitu, kelakuan culun anak-anaknya tetap tak bisa disembunyikan. Pura-pura dewasa itu susah, tak bisa dibuat-buat.
Jangankan anak-anak, orang dewasa pun banyak juga yang mencoba berpura-pura dewasa, sok mendewasa-dewasakan diri, padahal aslinya kekanakan. Jadi, dewasa itu memang tumbuh natural, bukan cangkokan. Sikap dewasa itu terbentuk dari tempaan hidup, bukan hasil framing dan baca buku.
Kelakuan kanak-kanak itu misalnya, kebiasaan kami menghitung kata-kata yang berulang-ulang diucapkan guru saat mengajar. Guru Keterampilan Jasa (akuntansi) kami, adalah salah satu guru yang kebiasaan uniknya kami jadikan becandaan. Kalau beliau mengajar, kami yang duduk di belakang mulai menghitung kata "nah" yang keluar dari mulutnya selama beliau mengajar. Kata "nah" itu hampir selalu muncul di antara kalimat yang ia ucapkan. Dalam satu kalimat bisa muncul kata itu tiga empat kali. Aku pernah menghitung Ibuk Keterampilan Jasa mengucapkan kata "nah" lebih dari 50 kali. Rata-rata selama diajar beliau, kata-kata itu muncul di kisaran 40-50 kali. He he he.
Atau kebiasaan buruk kami satu ini: mengganti nama-nama guru tertentu dengan panggilan-panggilan jelek. Biasanya untuk guru killer, guru pelit nilai atau guru dengan perawakan tertentu, kami menambahkan nama baru untuk guru tersebut. Di sekolah mana pun hal ini juga pasti ada. Hayooo ngakuu....!!?😀
Contoh lain, dan mungkin sama di mana-mana, adalah tidak menghormati guru saat mengajar. Guru serius dan sudah setengah mati menerangkan pelajaran, kami malah tak peduli dan asyik menggobrol, cekikikan, lempar-lemparan rensam kertas. 🏋♂🤼♀🤸♀🤾♀
Korbannya adalah guru bahasa Inggris. Beliau seorang guru yang kalem, sangat lembut, dan gak bisa marah secara ekspresif. Hampir setiap kali beliau mengajar, beliau gagal menguasai kelas. Kami yang sudah paham bahwa beliau tak bisa marah, makin menjadi-jadi. Kelas sudah macam pasar sayur di pagi hari. Berisik. Suara lembut Ibuk Bahasa Inggris tenggelam dalam lautan hiruk-pikuk.
Puncaknya, setelah berulang kali kejadian seperti itu, akhirnya Ibuk Bahasa Inggris menyerah. Ia merajuk duduk di kursinya. Beliau terisak. 😭😢
Kami, yang gak mengira beliau bakal menangis gara-gara kebejatan moral kami, akhirnya terdiam. Setelah beberapa detik kelas hening, Ibuk Bahasa Inggris bangkit, lalu berucap soal kekecewaannya pada kelakuan kami yang kepala batu. "Jadi tolomg beritahu saya, mengapa kalau dengan saya kalian selalu ribut?"
Mendapat pertanyaan itu, dari pojok belakang aku menjawab sekenanya, "Ibuk mengajarnya tidak berwibawa ...."
Sial. Kupikir jawabanku sudah benar dan jujur (sesuai analisaku). Tapi rupanya jawabanku itu membuat beliau tersinggung. Beliau merajuk dan meninggalkan kelas. Meninggalkan kami.
Ternyata kejujuran tidak selalu berefek baik. Atau mungkin aku yang terlalu lugas, tak pandai berbasa-basi. Tapi mana mungkin mengharapkan basa-basi dari bocah ingusan?
Sekarang setelah kupikir lagi, masalah ini sebenarnya bukan soal bwrwibawa atau tidak. Tapi soal kemampuan guru menyajikan bahan ajar. Menarik atau tidak. Jika menarik biasanya murid akan tekun mengikutinya dan otomatis kelas bisa dikuasai.
Ditinggal guru dengan isak berhiba hati, murid-murid badung itu bukannya insyaf, justru bergadang hati. Kelas kembali mendengung. Tertawa-tawa-lagi, ngobrol lagi.
Sepertinya Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran, serta menutup penglihatan mereka. Astaghfirullah....dasar anak-anak badung.
(maapin kami ya bu guru....🙏)
☕
"Kamu tidak perlu menjadi luar biasa untuk memulai, tapi kamu harus memulai untuk menjadi luar biasa." - Zig Ziglar
Bagaimana kisah Anda?
Bagaimana kisah Anda?