Tutur Mama Jatuh di Palung Terdalam Sanubari

0


Ambilkan Bulan, Bu.
Yuliesa Anggia Maharani

BULAN September tahun 2019 buat saya pribadi adalah bulan yang luar biasa. Karena, biidznillah, saya diperkenankan untuk berangkat menjalankan ibadah umrah.

Mengunjungi Tanah suci dalam benak saya memiliki beberapa tujuan pribadi yang kesemuanya mengarah kepada titik temu tujuan spiritual tentunya. Salah satunya menapak tilasi perjalanan hidup ibunda. 

Ibunda sempat beberapa tahun bermukim di sana dan bekerja sebagai seorang Supervisor sekaligus Interpreter bahasa Inggris dan bahasa Indonesia di King Abdul Aziz Hospital yang membawahkan ratusan perawat pekerja medis dari Indonesia. 

Qadarullah pada era tahun 60an beliau sudah mengantongi ijazah Diploma dari salah satu akademi bahasa di Jakarta, sebagai bentuk ketangguhan beliau yang yatim piatu lalu berdikari mencari pendidikan tinggi di ibukota Jakarta selepas SMA Landbouw (sekarang SMA 1) di Bukittinggi. 

Sangat banyak sekali oleh-oleh cerita yang beliau tuturkan kepada kami sepulangnya ke Indonesia yang melekat kuat di benak saya. Terlebih dalam otak kanak-kanak saya yang masih merekam kuat. 

Cerita tentang perjuangan hidup yang gigih para pekerja perantau dan romantikanya. Yang sebagiannya masih saya dapati  dalam perjalanan umrah kemarin.

Ibunda buat saya adalah ibarat charger energi. Yang setia mendampingi up down hidup saya. Belakangan saya merasa blessing dan bersyukur sekali ditakdirkan Allah memiliki orangtua seperti beliau yang mendidik dalam kesederhanaan namun memupuk kekayaan wawasan. 

Saya ingat ketika duduk di bangku SD kelas 4 beliau sudah mengenalkan saya akan buku karya Hamka. Beliau bilang, kalau ingin menangkap pengetahuan yang bisa tertangkap ke hati cobalah baca karya Hamka. Mungkin hal ini juga yang membuat saya menyukai walau masih jauh dari mahir tentang dunia tulis menulis. 

Beliau pun mengajarkan saya untuk melebarkan silaturrahmi. Terkadang kawan dan sahabat itu bisa melampaui saudara, katanya. 

Sampai saat sebelum era Android ibunda masih aktif berkoresponden dengan sahabat-sahabatnya dari negeri seberang. Mungkin sekadar mengasah kembali komunikasi bahasa asingnya. Namun sayang ketika saya mengenalkan handphone android untuk memperluas interaksinya beliau menyerah dan menolak dengan alasan tak lagi bisa merekam juknis penggunaannya.

Beberapa hari ini kesehatan beliau menurun kembali. Baru beberapa hari sebelumnya beliau berbincang dengan saya, seperti biasa memberi nasihat ringan.

"Bapandai-pandailah dalam hidup, nak. Yang hari indak ka paneh taruih," tuturnya, pendek. 

Tuturan kasih sayang yang menetes tepat di palung terdalam sanubari.

Kias ringkas dan padat tentang keterampilan survive dalam hidup. 

Dan ada lagi ucapan beliau yang saya ingat betul sore ini; "Ran, masa dulu kami hidup susah, tugas kami cuma bagaimana bertahan hidup. Jadi maafkan Mama tak pandai menyampaikan kasih sayang dengan pelukan dan kata-kata yang halus. Cuma mendidik dengan apa yang mama bisa ..." 

Mata saya selalu basah mengingat-ingat kalimat ini.

Rabb, jaga selalu malaikatku. Aamiin.

Kota Hujan, akhir tahun 2019.
Tags

Posting Komentar

0Komentar

Bagaimana kisah Anda?

Bagaimana kisah Anda?

Posting Komentar (0)

Portal StatistikEditor : Oce E Satria

Artikel diterbitkan oleh NostaBlog . Semoga artikel ini bermanfaat. Silakan bagikan ke media sosial Anda atau mengutip dengan menyertakan link artikel ini sebagai sumbernya. Terimaksih sudah membaca. Simak artikel-artikel menarik lainnya

To Top