BERKAT penemuan dan inovasi para generasi pendahulu, genarasi ini patut bersyukur sebagai “generasi modern” yang lahir pada kurun 1960-1980an.
Karena generasi yang mampu “bertahan” saat
akan memasuki “pintu gerbang” era Elon Musk, dalam usia
40 hingga 60 tahun, dan telah mengalami “loncatan teknologi” yang
begitu mengejutkan di “abad digital” ini, dengan kondisi
prima.
Inilah “generasi terakhir” yang pernah
menikmati riuhnya suara mesin ketik. Sekaligus saat ini
jari kita masih lincah menikmati keyboard dari personal
computer, notebook, dan laptopnya.
Inilah “generasi terakhir” yang masih merekam lagu dari radio dengan tape
recorder rumahan. Sekaligus, generasi “Ali Topan Anak
Jalanan” ini pun, telah menikmati mudahnya men-download lagu
dari gadget.
Inilah “generasi terakhir” dengan masa kecil bertumbuh lebih
sehat dari anak masa kini, lantaran masih bermain “lompat tali”, “loncat
tinggi”, “petak umpet”, dan “galasin”, sebagai
permainan yang merakyat. Sekaligus saat ini, mata dan jemarinya, tetap lincah
memainkan berbagai game di gadget .
Di masa remaja, inilah “generasi terakhir” yang pernah
mempunyai “kelompok tongkrongan” atau “gank”, yang tanpa
janji, tanpa telpon, atau tanpa kirim pesan lewat
SMS/WA, tetapi selalu bisa kumpul bersama, menikmati
malam minggu sampai pagi.
“Karena kita adalah generasi yang berjanji cukup
dengan hati,” kata mereka.
Namun generasi ini pun, termasuk generasi yang masih bisa bertemu di
dunia maya untuk ber “wkwkwkwk” di grup Facebook atau WhatsApp.
Inilah “generasi terakhir” yang pernah menikmati lancarnya
jalan raya kota, tanpa macet di mana-mana. Juga bersepeda motor
sambil menikmati segarnya angin jalan raya, tanpa wajib pakai helm di
kepala.
Inilah “generasi terakhir” yang pernah menikmati jalan
kaki berkilo meter tanpa perlu berpikir ada penculik yang
membayangi.
Namun generasi ini pun masih kesampaian, menikmati moda
transporatsi Trans Jakarta dan MRT (Mass Rapid
Transportation) yang merayap di atas rel layang sepanjang Stasiun Lebak
Bulus hingga Bundaran Hotel Indonesia.
Inilah “generasi terakhir” yang pernah merasakan nikmatnya
nonton televisi, dari masih hitam-putih hingga berwarna,
dengan senang hati tanpa diganggu remote control untuk
pindah-pindah chanel sana-sini.
Inilah “generasi terakhir” yang pernah pernah begitu
mengharapkan datangnya Pak Pos dengan sepeda atau motor
“oranye”-nya, untuk menyampaikan sebuah surat dari sahabat atau kekasih
hati. Juga dengan harap-harap cemas, menanti kiriman wesel dari
orangtua untuk bayar kost-kostan semasa kuliah.
Ini “generasi terakhir” yang pernah setiap pagi “merindukan”
kehadiran tukang sayur keliling atau tukang kredit
panci di depan rumah. Namun juga masih merasakan nikmatnya belanja
barang atau pesan makanan kesukaan secara online. Pun
pesan ojeg dan taksi tanpa harus menyetop
di pinggir jalan lagi.
“Kita mungkin bukan generasi terbaik. Tetapi kita adalah generasi yang ‘limited edition’,
Kita adialah generasi yang patuh dan takut
kepada orangtua –meskipun sembunyi-sembunyi untuk nakal dan
membangkang.
dari SMA70
Bagaimana kisah Anda?
Bagaimana kisah Anda?