Kenangan Masa Kecil (24): Amplop Tebal dari Bu Nunun

0



Ciloteh/ Oce E Satria

....Merekat kembali
ingatan sejarah kanak-kanak
betapa tak cukup
langit menangkup warna-warni
termangu seperti
hari membiarkan
hujan dan kemarau
datang dan pergi

sesuka hati.....

👣

BANYAK pria yang patah hati begitu mendengar putri kepala sekolah kami pindah sekolah. Anak manis itu pindah ke SMP 1 Padang Panjang. Ya Tuhan, begitu singkat Engkau beri kami kebahagiaan. Sayang sekali, padahal baru setahun bersama kami. 

Dan akibat peristiwa itu, biasalah, kami yang baru kelas satu ini membuat kesimpulan aneh-aneh. Aneka desas desus pun menyebar dari gunjingan satu ke gunjingan lain. Dan seperti biasa kami kepedean dan sok tahu. Isunya dikarang-karang seenak udel. Yang sok kepedean,  mengklaim kepindahan itu lantaran si putri patah hati cintanya terabaikan. Tapi dugaan itu dibantah oleh yang lain. Bukan diabaikan, tapi si putri kepala sekolah mungkin sudah patah arang lantaran cowok-cowok di sini pada norak.  Atau bisa jadi ada dugaan begini: namanya putri kepala sekolah pasti kolokan. Lalu teman ini bilang ke teman lain: "Nah, biasa kan, anak kolokan pasti kagak kuat tiap hari liat muka lu yang memprihatinkan itu!" 

Wkwkwkwk.

Yang pasti analisa ecek-ecek itu tak layak dipercaya. Bukan itu. 
Menurutku penyebab kepindahan itu hanya Tuhan, Bapak Kepala Sekolah, dan putri beliau sendiri yang tahu. Bahkan saat menjadi pembina upacara di hari Senin, Pak Kepsek gak ngasih penjelasan apa-apa soal kepindahan putrinya. 

"Tinggal kita bersyukur. Alhamdulillah Tuhan telah meminjamkan seorang putri cantik, meski hanya sekejap," gumamku, menawar sedih menghibur diri.

Tapi, Allah Maha Baik. Setelah kesulitan pasti ada kemudahan. Ditinggal pergi teman lama, Tuhan mengirimkan teman baru ke sekolah kami. Dan tak kalah manis dari yang dulu. Namanya, kalau gak salah Mala. Susmala, ya Susmala.  Sebuah nama perempuan yang unik dan belum pernah singgah di telinga kami. Sepanjang hayat kami. 

Kebenaran, birokrasi sekolah menempatkan anak itu di kelasku. Ahaaaayy..... 

Seperti selalu kita dengar perihal murid baru, Mala pun menjadi magnet baru kaum pria. Kepengen ngajak ngobrol, pura-pura pinjam buku, dibecandain, atau setidak-tidaknya lirik-lirik dan curi pandang. Itulah selemah-lemah mental. 

Kudengar dia berasal dari Pandai Sikek. Ya, wajarlah manis. Perempuan-perempuan dari sana memang cantik dan manis. Prianya gagah dan tampan.  Mungkin karena kampung itu adalah kampung seni. 

Aku sering terkesan membayangkan perempuan-perempun penenun  yang sangat cekatan melakukan prosedur yang sangat teratur, memainkan gerakan dan ketukan suara papan penyisir benang dengan tempo yang pas. Keindahan negeri itu tergambar lewat harmonisasi gerakan dan suara yang ditimbulkan aktivitas menenun,  membuat siapapun yang melihat akan betah berlama-lama menunggu hingga benang terakhir. Apalagi di depan perempuan penenun yang kecantikannya dihadiahkan Tuhan hanya pada rahim perempuan pilihan.

Aku tidak akan membicarakan tentang dia. Tapi aku akan cerita tentang sebuah cerpen yang pernah kutulis, berjudul "Mala yang Malang". Cerpen yang membuat aku malu dan konyol. Nama tokoh dalam cerpenku itu memang sengaja kupakai nama Mala, karena menurutku nama itu unik.  Syukurlah, kehadirannya menginspirasiku untuk menulis. 

Begini. Tahun itu kebetulan ada  Lomba Menulis Cerpen tingkat SMP/SMA se-Sumbar. Penyelenggaranya kalau gak salah KMS Singgalang Padang. Setelah membaca pengumumuannya di koran, aku segera bertungkus lumus mengarang. Referensiku waktu itu dari cerita-cerita di majalah DR (Detektif & Romantika). Seingatku ceritanya tentang kisah cinta berujung pembunuhan. 

Masing-masing peserta harus mengirimkan karyanya tiga rangkap. Karena gak punya mesin tik, aku membuatnya dengan tulisan tangan. Di atas kertas double folio. Tujuh halaman. Waktu itu syaratnya memang minimal tujuh halaman dan maksimal 15 halaman. 

Selesai ditulis, cerpen itu difotokopi. Rangkap tiga. Lalu memasukkannya ke amplop. Tak lupa menuliskan nama, alamat sekolah dan Lomba Menulis Cerpen Tingkat Pelajar Se-Sumbar. Senangnya tak terkira-kira karena akhirnya aku bisa menyelesaikan sebuah cerpen dan cerpen itu akan dibaca sejumlah sastrawan Sumbar yang jadi juri. Bukankah hebat?

Selasa siang sepulang sekolah aku meluncur ke kantor pos di Jalan M Yamin Padang Panjang. Di sana, dengan percaya diri amplop yang cukup tebal itu kumasukkan ke kotak pos (bis surat) yang ada di depan kantor pos. Yesss. Berhasil, meski agak susah payah mempurukkannya ke mulut kotak pos yang sempit.  Selesai, lalu pulang dengan hati yang berbunga-bunga. Membayangkan bakal terpilih menjadi juara. Atau setidak-tidaknya masuk nominasi
20 cerpen terpilih yang akan dimuat di KMS. 

Itu adalah pengalaman pertamaku berhubungan dengan pos. 

Seminggu kemudian......

Hari itu jam pelajaran kesenian bersama Bu Nurlaini.  Sebelum masuk kelas, tiba-tiba Bu Nunun -- begitu beliau biasa disapa -- memanggilku.

"Eka. Sini.... " 

Aku buru-buru mendekat. Hhmmm...ada apa Bu Nunun tiba-tiba memangggilku? 

"Eka ikut lomba nulis cerpen, ya?" 
Bu Nunun bertanya sambil mengumbar senyum manisnya (waktu itu Bu Nunun masih jomblo, jadi manisnya kentara banget). Kedua tangannya digantung di belakang.

"Oh, iya, Buk. Sudah saya kirim, Buk," jawabku. Ada perasaan bangga keikutsertaanku diketahui guru. Sekolah memang tidak tahu ada lomba cerpen pelajar waktu itu. 

Beliau menarik kedua tangannya ke depan. Di tangan Bu Nunun ada sebuah amplop tebal. Heeeiii.....bukankah itu amplop cerpenku?

"Eka...., lain kali kalau mengirim surat harus pakai perangko, ya! Ini, cerpen kamu belum pakai perangko."

Uuupppssss.....! Ternyata amplopku dikembalikan pak pos.

Dengan wajah memerah buru-buru kuraih amplop itu dan bergegas masuk kelas.

Sepanjang jam pelajaran kesenian bersama Bu Nunun aku memilih diam, menunduk. Malu dan pikiranku kacau sekali. 

Sampai sekarang kalau ingat itu aku suka malu tapi juga ketawa. Betapa terbelakangnya aku dulu. Percuma aku hobi membaca berbagai buku dan majalah di rumah, tapi hal sesepele prosedur mengirim surat lewat pos saja aku tak punya pengetahuan. Bahkan ketika aku sudah berseragam putih-biru.  Padahal di rumah aku sering melihat album perangko milik kakakku karena dia penghobi filateli. Naif. 

Sekarang setelah punya anak, aku baru paham, kenapa SD-nya Qorry dan Salwa ada tugas menulis surat lengkap dengan perangko. Aku baru paham kenapa murid-murid SD sekarang sering ada kegiatan outclass. Praktik kegiatan-kegiatan yang sepintas tidak penting. Ternyata penting. Antum boleh tahu banyak pengetahuan umum, tapi gak tahu cara ngirim surat lewat pos, itu namanya antum goblok! Dan memalukan. 😀


 "Bagaimana kau mengeja ‘cinta’? tanya Piglet. "Kau tak usah mengejanya….rasakan saja." Jawab Pooh. A.A Milne

Posting Komentar

0Komentar

Bagaimana kisah Anda?

Bagaimana kisah Anda?

Posting Komentar (0)

Portal StatistikEditor : Oce E Satria

Artikel diterbitkan oleh NostaBlog . Semoga artikel ini bermanfaat. Silakan bagikan ke media sosial Anda atau mengutip dengan menyertakan link artikel ini sebagai sumbernya. Terimaksih sudah membaca. Simak artikel-artikel menarik lainnya

To Top